Take a fresh look at your lifestyle.

Jakarta Heritage Trails: Menjelajah Kota Taman Pertama di Indonesia – Menteng

1 6,150

Jakartakita.com:Kota Jakarta menyimpan berjuta cerita mengenai sejarah perjuangan kemerdekaan RI. Apabila Anda berjalan menyusuri  daerah Menteng, Jakarta Pusat, Anda akan melihat sejumlah bangunan tua yang masih berdiri kokoh dan terlihat cantik bersanding dengan bangunan-bangunan modern. Tetapi tahukah Anda bahwa Menteng adalah kota taman pertama di Indonesia yang dibangun oleh Belanda? Tahukah anda bahwa dinamakan Menteng karena kawasan yang dahulu milik tuan tanah keturunan Moor (Arab) banyak ditumbuhi pohon buah menteng?Dan tahukah Anda, kalau sebagian bangunan tua itu memiliki sejarah panjang perjuangan kemerdekaan RI?

Atas dasar itulah pada hari minggu (19/2/2012) kemarin, Komunitas Historia Indonesia (KHI) dan Jakarta Heritage Community (JHC) menyelenggarakan “Jakarta Heritage Trails: Menjelajah Kota Taman Pertama di Indonesia – Menteng”. Program  yang didukung oleh Museum Joang ’45 dan Museum Perumusan Naskah Proklamasi itu mengajak para peserta dari berbagai kalangan untuk menelusuri sejarah gedung-gedung tua, museum, taman sekitaran Menteng.

Hujan yang mengguyur Jakarta sepanjang pagi tidak menyurutkan langkah peserta Jakarta Heritage Trail untuk berkumpul di Gedung Joang 45  pada pukul 07.30 WIB. Sambil menunggu hujan cukup reda, panitia acara yang dikomandani oleh ketua Komunitas Historia Asep Kambali pun berinisiatif untuk membawa rombongan peserta menonton film profil Museum Juang ’45 sebelum melihat koleksi museum yang pada masa colonial merupakan salah satu hotel termewah bernama Schomper. Namun ketika Jepang masuk Indonesia (1942-1945) dan menguasai Batavia, hotel ini beralih fungsi menjadi Ganseikanbu Sendenbu (Jawatan Propaganda Jepang) yang digunakan oleh pemuda Indonesia untuk belajar politik. Di Museum Joang ‘45, peserta diajak melihat-lihat diorama perjuangan kemerdekaan, film singkat berisi penjelasan sejarah, mobil Rep 1 & 2, serta benda-benda peninggalan para pejuang lainnya.

Hujan belum juga reda saat jam menunjukan pukul 09.00 Wib. Namun para peserta dan panitia memutuskan untuk memulai walking tour hari itu, walau mesti ditemani rintik hujan. Tujuan pertama setelah Gedong Joang 45 adalah Masjid Cut Mutiah yang berada di Jalan Cut Mutiah No. 1.

Masjid bersejarah ini dulunya merupakan bangunan kantor biro arsitek N.V. Naamloze vennootschap atau PT Bouwploeg milik Peter Adriaan Jacobus Moojen yang membangun wilayah Gondangdia Menteng.  Sebelum dialihfungsikan menjadi masjid, bangunan ini juga pernah digunakan sebagai kantor pos, kantor Jawatan Kereta Api Belanda, Kantor AL Jepang (Kempetai). Setelah Indonesia merdeka sempat dijadikan KUA.

Beranjak dari Masjid Cut Mutiah, bangunan tua eks. Kantor Imigrasi menjadi sajian berikutnya. Bangunan yang dibangun pada 1913 dengan PAJ Moojen sebagai arsiteknya ini menjadi pelopor dalam penggunaan beton bertulang di Indonesia. Awalnya, arsitektur itu mewadahi Kunstkring (Perserikatan Seni) sampai 1936, lalu menjadi markas Majelis Islam A’la Indonesia dari 1942 – 1945, hingga digunakan sebagai Kantor Imigrasi Jakarta Pusat dari 1950 – 1997.

Pada tahun 1997, bangunan ini sempat ditukar-gulingkan oleh Tommy Soeharto. Namun karena ditelantarkan, bangunan ini malah rusak parah. Dari kusen hingga tangga, raib diangkut ke pasar gelap. Pada 2003, atas perintah Gubernur Sutiyoso, pemerintah membeli kembali gedung itu dengan harga sekitar 23 – 28 miliar dengan sumber danadari APBD. Bangunan bersejarah tipe A yang seharusnya sama sekali tidak boleh dipugar ini malah semakin mengundang kontroversi setelah bangunan ini dijadikan resto Budha Bar dengan biaya sewa hanya 4 milyar dalam setahun. Kini bangunan bersejarah itu telah berganti kepemilikan menjadi sebuah resto mewah.
Perjalanan dilanjutkan ke Museum Jenderal Besar AH Nasution. Dahulunya museum ini adalah kediaman Jenderal AH Nasution beserta keluarga. Di rumah itulah Ade Irma Suryani tertembak pasukan cakrabiwara yang sejatinya ingin menculik Jenderal AH Nasution hidup atau mati.

Di museum ini pula para peserta diajak untuk napak tilas peristiwa G30S/PKI dikediaman sang jenderal yang akhirnya menewaskan Ade Irma Suryani dan Pierre Tendean sang ajudan jenderal. Hampir seluruh barang-barang yang ada di museum ini masih asli seperti saat kejadian, hanya ditambah beberapa patung yang menggambarkan peristiwa berdarah di tahun 1965 itu.

Para peserta masih tampak bersemangat mengikuti ‘walking tour’. Tujuan kali ini adalah kediaman Adolf Heuken, warga Jerman yang telah menjadi WNI, penulis sejumlah buku sejarah tentang Jakarta, antara lain; Historical Sites of Jakarta, Menteng. Adolf Heuken membagikan sedikit cerita tentang asal usul Jakarta, khususnya Menteng.

Related Posts
1 daripada 1,082

Hujan akhirnya reda, jam sudah menunjukan jam 12:00 Wib. Dengan langkah pasti peserta mengikuti para guide dari Komunitas Historia menuju yaitu Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Sebelum menuju rute terakhir dari walking tour kali itu. Kami diajak untuk singgah di SD Menteng tempat Obama bersekolah, Taman Suropati yang dulu bernama Burgemeester Bisschoplein karena taman ini dibangun pada masa pemerintahan walikota (Burgemeester) Batavia G.J. Bisshop (1916-1920).

Di seberang Taman Suropati berdiri megah gedung kantor Bappenas. Gedung ini dibangun 1925 oleh F.J.L.Ghijsels, seorang insinyur kelahiran Tulung Agung, Jawa Timur. Dia juga membangun gedung yang kini menjadi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Di samping sejumlah gedung megah di Kalibesar Timur dan Kalibesar Barat, Jakarta Kota.

Gedung Bappenas, pada masa kolonial pernah menjadi tempat pertemuan anggota tertinggi vrijmesdclarij atau freemason dalam bahasa Inggris. Dulu, di bagian atas gedung yang bertuliskan Bappenas tertulis Adhuc Stat.Sedang di kanan-kirinya terdapat dua lambang vrijmedsclarij yang jika disambung dengan garis akan membentuk ‘Bintang David’ lambang dan simbol suci kaum Yahudi. Bischop yang menjadi wali kota Batavia pada saat itu adalah seorang penganut agama Yahudi yang berpengaruh. Karena aktivitas underground dari kaum Yahudi ini gedung ini sempat disebut sebagai Gedong Setan.

Akhirnya sampai juga di tempat tujuan terakhir di Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang terletak di Jalan Imam Bonjol No. 1. Gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang berdiri di atas tanah seluas 3.914 m2 itu telah beberapa kali berpindah tangan. Pernah digunakan oleh PT Asuransi Jiwasraya pada tahun 1931, lalu dikuasai oleh Admiral Tadashi Maeda selama masa pendudukan Jepang, kemudian menjadi markas besar Tentara Kerajaan Inggris setelah perang Pasifik, beralih lagi ke Asuransi Jiwasraya, sebelum berpindah tangan lagi menjadi Kedutaan Inggris dari tahun 1961 sampai 1981, dan lalu menjadi Perpustakaan Nasional pada tahun 1982.

Saat dihuni oleh Laksamana Tadashi Maeda, gedung ini menjadi saksi peristiwa bersejarah yang terjadi pada 16-17 Agustus 1945, ketika perumusan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dipersiapkan dan ditandatangani di tempat itu.  Sang guide menceritakan beberapa ‘fun facts’ pada saat perumusan naskah proklamasi itu. Tentang Moh. Hatta yang kelaparan hingga harus mengemil roti di mini bar Maeda, tentang nasi goreng istimewa yang menjadi menu makan sahur para perumus naskah proklamasi yang beragama Islam dan cerita-cerita menarik lainnya.

Para peserta juga di ajak ke   halaman belakang museum tempat sebuah bungker rahasia. Jika menyusuri bunker tersebut lebih jauh dan menuruni anak tangga, pengunjung akan bertemu dengan sebuah kamar rahasia selebar 5 meter dengan panjang 3 meter dan tinggi sekitar 1,5 meter.  Di kamar itu dahulu digunakan oleh Tuan Laksamana Maeda yang menjabat sebagai Kepala Penghubung Angkatan Laut & Angkatan Darat Jepang untuk menyimpan barang-barang berharganya, juga berbagai dokumen penting kenegaraan. Selain itu bunker yang cukup untuk 5-7 orang ini juga berguna sebagai tempat berlindung apabila terjadi serangan bom dari udara.

Dan berakhirlah seluruh rangkaian acara Historical Tour hari itu (19/2/2012) yang diselenggarakan oleh Komunitas Historia Indonesia (KHI) dan Jakarta Heritage Community (JHC). Rasa capek setelah berjalan kurang lebih 3.5 km seperti terbayar lunas oleh sejumlah cerita tentang peristiwa dan bangunan bersejarah di sekitar Menteng.

Bagi Sobat Jakarta, yang ingin ikut acara jalan-jalan bersejarah berikutnya bisa mengecek jadwal di www.komunitashistoria.org

Reporter: Risma Budiyani

Fotografer: Fajar Herlambang.

Tunjukkan Komen (1)