Take a fresh look at your lifestyle.

Hujan Lokal

0 1,063

Hujan Lokal(Sebuah kiriman dari Heriawanto Hirawan, banker yang sehari-hari jadi penumpang setia commuterline)

Pagi-pagi naik commuterline dari Stasiun Pondok Cina sudah penuh sesak. Segitu penuhnya cuma bisa masuk mepet pintu commuter. Di setiap stasiun berhenti yang naik makin banyak tapi yang turun bisa dihitung jari. Gue coba bertahan untuk gak masuk lebih jauh ke dalam dan tetap berada di dekat pintu, biar nanti keluarnya gampang.

Related Posts
1 daripada 26

Seperti hari-hari yang lainnya, earphone selalu nyangkut di telinga biar bisa asik seru denger lagu. Volume maksimal.

Tiba di stasiun Ps. Minggu, ada banyak calon penumpang yang masuk. Salah satunya adalah wanita berkulit gelap, rambut pendek blonde ala buceri atawa bule nge-cat sendiri. Giginya agak maju. Mungkin usianya 35 tahunan, dengan baju warna kuning ‘gonjren’g dengan kerah warna hijau dan bando merah. Yang menakjubkan lagi, make up nya yang menor banget. Lipstick warna merah menyala, alis mata lancip, sekitar mata hitam gothic, bedak tebal dan pipi pinky-pinky gimanaaa gitu kayak abis ditabokin warga sekampung.

Sumpah gue kaget banget. Dia masuk commuterline, berdiri tepat di depan gue. Batang hidung dia sejajar sama batang hidung gue. Beneran gue berhadap-hadapan dengan jarak yang sangat dekat, sampe gue bisa mencium bau napasnya yang aduhai.

‘Astaghfirullah’ kata gue dalam hati.

Well,,,setahu gue ya gue bilangnya dalem hati sih. Atau seenggaknya, kalaupun sampai terucap, yaa paling pelan banget. Karena samar-sama gue juga dengar suara gue ngomong gitu sih.

Tiba-tiba wanita ajaib ini mencabut earphone yg tergantung di telinga gue sambil bilang:

“Apa maksud lo ngomong Astaghfirullah?? Lo pikir gue setan??!! Kurang ajar lo!! Elo tuh yang setan!!

Ternyata istighfar gue keras banget, gak cuma di dalem hati aja! Gue gak bisa dengar suara gue sendiri karena telinga gue tertutup earphone yang sedang pasang lagu dengan volume maksimal. Penumpang commuter sekitar gue berdiri tertawa cekikikan, apalagi melihat si mbak-mbak menor yang sedang emosi berat.

Sebegitu emosinya itu si mbak, sampai gue juga berasa ada hujan lokal mendarat di beberapa titik di muka gue. Dia tak berhenti ngomel sambil ludahnya muncrat ke muka gue.

Gue cuma bisa diam, berasa bersalah juga sama si mbak ini. Mukanya yang udah menor karena make up, semakin menor karena merah menahan emosi . Penumpang lain masih ketawa, gue gak paham juga sih apa mereka tertawaka,  si mbak-mbak menor atau malah mentertawakan kebodohan gue.

Akhirnya gak berapa lama commuterline berhenti di stasiun berikutnya. Si mbak-mbak balik badan lalu turun. Tapi dia ternyata gak lupa untuk memberikan kenang-kenangan untuk gue. Sebuah injekankaki yang membuat gue meringis kesakitan.  Apes benar ya gue!

Mbak Menor, di manapun kamu berada, saya minta maaf yaaa!

Tinggalkan komen