Take a fresh look at your lifestyle.

Mudik

0 1,432
foto: istimewa
foto: istimewa

Lebaran identik dengan ritual mudik. Ritual tahunan para perantau yang melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman demi merayakan lebaran bersama keluarga. Tiap tahunnya terjadi eksodus besar-besaran para warga kota yang kebanyakan adalah perantau.

Makanya tak heran kalau kota yang biasanya penuh sesak, tiba-tiba menjadi lengang. Dan jalanan antar kota provinsi yang biasanya sepi berubah menjadi penuh-sesak. Jutaan kendaraan parkir massal di sepanjang jalan penghubung antar kota yang biasanya lengang.Kasihan sekali para perantau yang hidupnya dikutuk oleh macet. Sudah setiap harinya mesti berjibaku dengan  macet, liburan pun harus bermacet-macet ria.

Sensasi mudik tak akan pernah bisa dimengerti oleh orang-orang yang tidak punya kampung halaman. Mungkin bagi Anda warga Betawi asli, yang kebetulan menikah dengan sesama Betawi tidak akan pernah paham kenapa perantau mesti memaksakan diri untuk mudik lebaran. Apa enaknya mudik, macet panjang yang membuat waktu tempuh menjadi paling tidak dua kali lipat. Belum lagi ongkos moda transportasi umum yang melambung tinggi?

Bagi perantau, rasanya aneh sekali menghabiskan masa libur lebaran di perantauan tanpa sanak saudara. Bunyi takbir yang seharusnya membahagiakan justru terasa mengiris hati saat rindu kampung halaman tak tertahankan. Ketiadaan uang sepertinya bukan masalah besar bagi perantau untuk mudik, yang penting modal nekat.

Lagi pula, bagi kebanyakan pemudik tak peduli kaya atau miskin, biaya mudik itu selalu terasa berat. Bagi si miskin mungkin biaya mudik hanya terbatas untuk mengongkosi mudik super murah dengan motor kreditan atau bajaj yang selama ini jadi mata pencaharian. Bagi kalangan atas, ongkos mudik adalah biaya akomodasi mewah sepanjang perjalanan entah itu tiket pesawat atau kereta eksekutif, mobil pribadi dengan supirnya, hotel di perjalanan, wisata kuliner, bingkisan lebaran dan angpau. Meski mahal, namun tetap saja mudik.

Saya dibesarkan oleh kedua orang tua yang perantau. Tradisi mudik sepertinya sudah mendarah-daging dalam diri saya. Orang tua sayalah yang memperkenalkan tradisi mudik lebaran.

Setiap tahun selalu ada saja cerita yang membuat mudik terasa istimewa. Semuanya terekam dengan indah dalam ingatan saya. Tentu saja ada banyak foto dalam album kenangan yang mengingatkan saya dan keluarga tentang nikmatnya mudik lebaran.

Ingatan mudik pertama saya adalah ketika saya masih balita. Tentu saja sebagai balita yang belum genap lima tahun, saya tak mengingat banyak. Ingatan saya banyak diperkuat oleh cerita ayah dan ibu juga sejumlah foto.

Dahulu ayah dan ibu saya adalah sepasang perantau yang muda belia. Merantau dari Purworejo demi mencari sepotong mimpi di Jakarta. Tak membawa apa-apa, hanya harapan akan kehidupan yang lebih baik. Tak lama menikah, langsung dikaruniai seorang putri cantik yaitu saya.

Related Posts
1 daripada 69

Saya masih ingat betapa dahulu saat balita, saya pernah bermalam di stasiun kereta karena kereta ekonomi yang akan kami tumpangi terlambat datang. Penderitaan kami tidak sampai di situ. Kereta ekonomi yang penuh sesak pada tahun 1987 sungguh tidak manusiawi. Ibu saya harus berjuang masuk kereta terlebih dahulu, baru kemudian ayah mengoper saya lewat jendela. Setelah masuk pun, kami masih tidak bisa duduk dengan nyaman. Rasanya saya masih ingat samar-samar bagaimana saya tidur di kolong bangku kereta dengan beralaskan koran. Kenapa kami tidak naik moda kendaraan lain yang lebih manusiawi? Ya karena saat itu, hanya itu yang kami mampu.

Tahun berganti, saat itu orang tua saya tidak hanya memiliki saya tetapi juga dua adik saya yang nyaris kembar alias lahir dengan jarak kurang dari dua tahun. Dan orang tua saya masih belum memiliki kendaraan pribadi. Kami menumpang bis! Bisa dibayangkan berlima dengan anak yang masih kecil-kecil naik bis menempuh perjalanan lebih dari 12 jam. Bayangkan saja bagaimana repotnya membawa tentengan. Ah, sekarang saya hanya membawa anak balita saya ke mall dengan mobil pribadi saja bawaannya sudah rempong apalagi tiga anak. Tetapi kami menikmati perjalanan mudik kami. Terbayang nenek, kakek, bude, pakde dan para sepupu yang siap menyambut kami.

Saya masih ingat, dahulu setiap keluarga kami akan kembali ke Jakarta. Keluarga di kampung mesti menyewa angkot untuk mengantar kami ke kota Purworejo. Mereka akan menunggu kami hingga bis yang kami tumpangi berangkat. Walau seringkali bis yang akan kami tumpangi terlambat datang hingga berjam-jam, mereka tetap setia menunggu.

Kali lain, kami sekeluarga pernah menumpang kepada saudara yang baru saja memiliki mobil. Lumayanlah tidak terlalu repot. Namun tentu saja, masih jauh dari kata nyaman. Namanya juga numpang…!

Lambat laun perekonomian keluarga kami meningkat, hingga kami bisa mudik dengan mobil pribadi. Ah, senangnya luar biasa. Tidak repot! Dan kami bisa beristirahat kapan saja kami mau. Walau, di awal perjalanan mudik dengan mobil pribadi kami masih belum cukup mapan untuk bisa berwisata kuliner dimana saja kami mau berhenti. Masih cari yang murah, dengan pertimbangan perjalanan masih sangat panjang butuh berkali-kali istirahat jajan.

Semakin hari, perjalanan mudik semakin macet. Perjalanan Jakarta-Purworejo yang di hari biasa hanya butuh waktu tempuh 12 jam, di musim mudik lebaran butuh minimal 20 jam. Malah kami pernah menempuh perjalanan 30 jam. Tentu saja itu sudah termasuk istirahat, solat, makan dan foto-foto.

Mengapa kami tidak mencoba moda transportasi lain, pesawat misalkan. Pesawat atau kereta butuh paling tidak sebulan untuk booking. Dan seringnya kami tidak pernah punya rencana mudik sebelumnya, baru menjelang hari-hari terakhir panggilan untuk mudik menggedor hati kami sedemikian kuat. Walau setiap tahunnya kami bersumpah serapah tidak akan mudik lagi, mengingat betapa semakin hari macet kian jahanam belum lagi uang yang mesti kita korbankan. Tapi menjelang lebaran, hati kami meleleh. Rasa rindu pada kampung halaman membuat kami melupakan segalanya.

Hingga akhirnya saya berjodoh dengan pangeran dari negeri seberang. Tantangan pertama saya adalah memperkenalkan tradisi mudik pada lelaki yang dibesarkan di sebuah kota fashion di negara adidaya. Seperti saya duga sebelumnya, perjalanan pertama bersama suami ke kampung halaman diiringi dengan sumpah serapah tidak akan pernah mudik lagi. Kok ‘ndilalah’, saat itu kami butuh waktu tempuh 30 jam. Belum lagi, di setiap tempat pemberhentian tidak ada WC duduk. Semakin di perparah, di desa tidak ada yang punya wc duduk, pun di hotel termegah di kota kecil bernama Purworejo. Ah, itu adalah hal paling horor yang pernah dialami suami saya.

Kapok? Tidak juga, toh kami akhirnya mudik lagi. Yes! Si suami akhirnya ketularan sensasi mudik. Sekalipun sudah bersumpah serapah tidak akan mudik lagi saat ‘stuck’ berjam-jam di Pantura. Toh, diulang kembali. Mudik semacam sesuatu yang sangat adiktif.

Apakah saya akan mudik tahun ini? Wallahualam Bisshawab….

Tinggalkan komen