Take a fresh look at your lifestyle.

BI Harus Konsisten Menerapkan Transaksi Dalam Rupiah

0 732
ilustrasi aku cinta indonesia
foto : istimewa

Banyaknya surat keberatan mengenai penggunaan Rupiah dalam transaksi domestik, kiranya tidak membuat Bank Indonesia (BI) menjadi tidak konsisten.

Sekali BI menyetujui keberatan dari pihak yang seharusnya terkena kebijakan tersebut, maka semakin banyak pihak yang mengajukan keberatan atas dasar persamaan perlakuan.

Akibatnya penerapan kebijakan tersebut hanya berlaku pada transaksi remeh-remeh sehingga tujuan stabilisasi nilai Rupiah tidak akan tercapai.

Di samping itu, persetujuan pembebasan tersebut dapat membuka peluang “main mata” antara pengusaha dengan oknum yang nakal.

Penerbitan Peraturan BI Nomor 17/3/PBI/2015 tentang “Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang menjadi turunan UU Nomor 7/2011 tentang Mata Uang, sesungguhnya sangat terlambat. Hal tersebut perwujudan cirri khas kebanyakan elit Indonesia yaitu pelupa saat tidak ada gejolak, dan kebingungan saat masalah datang.

Dua hal penting untuk mendorong kesuksesan penerapan kebijakan transaksi dalam Rupiah.

Related Posts
1 daripada 10

Pertama, perlunya sosialisasi dengan jangkauan luas. Sosialisasi tentang petunjuk teknis di hotel atau di beberapa tempat tidaklah memadai mengingat dampak kebijakan tersebut luas dan ada unsure pidana bagi pelanggar. Ini terbukti dari banyaknya surat ke BI yang mempertanyakan petunjuk teknis dari kebijakan itu sebagaimana dilansir oleh media massa.

Sosialisasi perlu didukung dengan pemasangan pamphlet tentang petunjuk teknis dan sanksinya pada area-area yang sering terjadi transaksi Non Rupiah. Juga dapat melalui media lainnya sepanjang masa waktunya cukup panjang sehingga dapat diketahui oleh banyak pihak.

Kedua, perlunya pengawasan yang ketat di lapangan terkait dengan penerapan kebijakan transaksi dalam Rupiah.

Aktivitas ini seharusnya dimulai dengan penetapan mekanisme pengawasan yang jelas dan mudah diterapkan termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam pengawasan. Hal ini dibutuhkan selain untuk meyakinkan ketaatan masyarakat dan dunia usaha, tetapi juga untuk menghindari oknum-oknum yang melakukan pemerasan kepada pengusaha dan masyarakat dengan dalih kebijakan tersebut.

Penggunaan Rupiah dalam transaksi domestik seharusnya menjadi bagian dalam “Revolusi Mental.”

Selamaini, sebagian besar komponen bangsa terlalu mengagungkan apa saja yang berbau luar negeri termasuk mata uang mereka. Sudah saatnya dipaksa untuk menghargai apa yang dimiliki bangsa ini.

Kedepan, kecintaan terhadap milik bangsa harus menjadi pola hidup masyarakat mulai dari elit hingga akar rumput. Apabila ini tidak dibiasakan, maka kemandirian suatu bangsa tidak mungkin akan terwujud***

Penulis : Agus Tony Poputra, Ekonom Universitas Sam Ratulangi

 

Tinggalkan komen