Take a fresh look at your lifestyle.

Cousins Are The Perfect Best Friends…

0 976
foto: istimewa
foto: istimewa

Semua orang pasti punya sepupu terdekat yang jadi sahabat baik. Begitupun saya.

Tak perlu ditanya mengapa sepupu bisa jadi sahabat terbaik, karena terlalu banyak alasan yang bisa membuat Anda harus mengakui kalau sahabat terbaik Anda justru sepupu. Yang jelas, mereka bisa diandalkan untuk dijadikan teman curhat yang tidak akan menghakimi Anda sekalipun Anda berbuat salah.

Saya lahir dan dibesarkan di kota Jakarta. Karena kedua orang tua saya memutuskan merantau dari tanah Purworejo untuk mengadu nasib di kota Jakarta. Itu berarti, kedua orang saya harus hidup mandiri jauh dari siapapun yang mereka kenal, memulai hidup dari nol.

Related Posts
1 daripada 26

Jauh dari saudara kandung bukan berarti kami putus tali kasih dengan para saudara di kampung. Setahun sekali, kami selalu berupaya untuk mudik demi melepas rindu. Saat mudik lebaran itulah satu-satunya kesempatan saya untuk bercengkerama dengan para sepupu, yang kebetulan sebaya.

Sepanjang mudik lebaran yang cuma seminggu itu biasanya kami berkumpul di rumah mbah. Kami para sepupu biasa tidur berlima atau berdelapan orang dalam satu ranjang. Dan sepanjang malam kami mengobrol ‘ngalor-ngidul’ tentang apa saja. Rasanya sayang sekali kalau kami hanya menghabiskan waktu kumpul yang hanya beberapa hari untuk tidur cepat. Maklum, cuma sekali dalam setahun kami para sepupu berkumpul.

Entah mengapa, sejak kecil saya lebih dekat dengan saudara  dari garis ibu. Saya bisa dengan mudah akrab dengan para sepupu dari garis ibu, hal sebaliknya dengan sepupu dari garis ayah. Kami tak benar-benar berkomunikasi.

Ibu saya adalah anak terakhir dari tujuh bersaudara. Hanya ibu dan almarhum kakak perempuannya, yang biasa saya panggil Bude Nik yang merantau. Bude Nik merantau ke Semarang sedang ibu ikut ayah ke Jakarta. Dan yang lainnya memilih tinggal di Purworejo. Kalau keempat kakak ibu memilih tinggal di desa terpencil di balik bukit yang bernama Njelok, hanya kakak perempuan ibu yang biasa dipanggil Bude Sum yang memilih tinggal di desa lain.

Sama dengan saudara ibu yang lain, Bude Sum tak kalah baik. Meski rada cerewet, Bude Sum punya hati yang lembut. Makanya tak heran, rumahnya hampir selalu menjadi persinggahan kami selama mudik. Dan biasanya Bude Sum sekeluarga akan heboh menyiapkan bekal untuk kami kembali ke Jakarta. Singkat cerita dari sekian banyak sepupu favorit saya, takdir malah membawa saya dan mbak Fifi, anak dari Bude Sum menjadi semakin akrab.

Sejatinya usia mbak Fifi lebih muda dua tahun dari usia saya. Namun, karena ibunya adalah kakak dari ibu saya maka saya memanggilnya mbak. Hubungan saya dan mbak Fifi teramat dekat. Saking dekatnya dialah yang paling dahulu tahu cerita tentang hidup saya. Bersama dia saya bisa bercerita hal sebodoh apapun tanpa takut dicibir. Makanya tak heran kalau dia selalu jadi orang pertama yang saya suruh membaca draft novel saya.

Jarak Jakarta-Purworejo dan intensitas pertemuan yang sangat jarang rupaya tidak membuat kami berjauhan secara emosional. Kami justru semakin dekat seiring dengan beranjaknya usia dan akhirnya kami masing-masing menikah. Dan lucunya, kami punya cerita pernikahan yang nyaris mirip di awal, LDR dan kebal ditanyai ‘kapan punya momongan’?

Beruntungnya suatu hari, suaminya yang PNS di Departemen Kehutanan ditempatkan di Bogor. Maka jarak kami semakin dekat, karena sesekali dia harus menyambangi sang suami di Bogor. Puncaknya adalah ketika akhirnya dia pun dipindah tugaskan di Jakarta. Yay!

Bekerja di Jakarta, punya rumah di Bogor. Akhirnya dia mengalami semua hal yang sempat aku ceritakan dahulu, bagaimana orang Jakarta berangkat pagi buta dan baru pulang saat matahari tenggelam demi mencari nafkah. Macet sudah jadi makanan sehari-hari.

Beruntungnya suaminya sering ditugaskan ke luar kota dalam jangka waktu yang cukup lama. Itu berarti, mbak Fifi bisa menemani saya yang juga sering sendirian ditinggal suami di Jakarta. Mbak Fifi pun mulai menikmati kehidupan baru menjadi pengguna setia commuter line. Kebetulan rumah saya dekat dengan stasiun kereta Sudimara, dan dari situ mbak Fifi hanya butuh paling lama 20 menit naik kereta commuter line menuju Palmerah. Bandingkan dengan kalau dia harus melaju dari Bogor. Butuh paling tidak dua jam.

Saya yang gadis metropolis pun ‘meracuni’ mbak Fifi yang gadis desa. Dari menyusuri setiap sudut pusat perbelanjaan, mencicipi kuliner asing hingga menonton midnite movie.

Dan kini lidahnya pun sudah terbiasa mengunyah aneka kuliner dari daratan eropa, Timur Tengah, Jepang, Korea dan lain-lain. Suatu rasa yang luar biasa asing di lidahnya saat dahulu masih tinggal di kota kecil Purworejo. Sekarang dirinya pun percaya kalau saya tak membual, dahulu saya sering bercerita tentang merek tas tertentu yang harganya puluhan hingga ratusan juta dan kini dirinya sudah melihat sendiri di tokonya. Begitupun dirinya sudah mengintip sekilas kehidupan malam, saat kami melintasi klub malam sepulang dari midnite movie. Ups!

Dan dia mengajarkan kepada saya tentang arti ketulusan. Sebuah kebaikan tanpa syarat. Begitupun tentang kesederhanaan.

Meski sekarang intensitas pertemuan kami kembali meredup seiring dengan bertambahnya kesibukan kami dengan kehadiran anak. Namun, saya dan dia selalu punya bahan obrolan saat bertemu. Dan kami selalu punya cara mengasyikan untuk menghabiskan waktu, walau sekedar untuk makan bakso sambil berceloteh tentang kekonyolan kami.

Meski kami berdua teramat akrab bukan berarti kami tidak pernah bertengkar. Sesekali kami berselisih paham, namun biasanya kami hanya saling diam. Itupun waktunya tak akan lama. Karena kami biasanya selalu ada topik pembicaraan untuk mencairkan suasana.

Sepupu saya adalah sahabat terbaik saya. Bagaimana dengan Anda?

 

Tinggalkan komen