Take a fresh look at your lifestyle.

Kisah Para Mayor Jadi Cikal-Bakal Kemayoran

0 2,236
foto: Perpustakaan Nasional
foto: Perpustakaan Nasional

Jakartakita.com – Kemayoran adalah salah satu wilayah di Jakarta Pusat yang sudah populer sejak zaman penjajahan Belanda. Kala itu wilayah Kemayoran meliputi Serdang, Sumur Batu, Utan Panjang, Kebon Kosong, Kepu, Gang Sampi, Pasar Nangka dan Bungur. Berbeda dengan kondisinya yang sekarang, Kemayoran tempo dulu merupakan areal persawahan.

Menurut sejarah, dahulu kawasan Kemayoran dikuasai oleh tuan tanah yang merupakan serdadu berkebangsaan Perancis Isaac de Saint Martin. Serdadu berpangkat mayor ini lahir sekitar tahun 1629. Emoh mengangkat senjata di sejumlah pertempuran antara tentara sekutu melawan pejuang Indonesia di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Isaac pun memilih menetap di kawasan Kemayoran. Sejak saat itu kampung Kemayoran yang dihuni warga asli Betawi mulai didatangi para bule.

Seperti dilansir jakarta.go.id, nama daerah yang terletak di Jakarta Pusat ini berasal dari kata “mayor” yang merupakan jabatan atau pangkat yang diberikan pemerintah Belanda kepada orang-orang yang dinilai berjasa kepada kompeni.

Saat itu, jabatan mayor tak hanya diberikan kepada orang Belanda, tapi juga diberikan kepada orang-orang China. Mereka diberi tugas untuk menarik pajak dari penduduk yang wajib dibayarkan dari tanggal 1 hingga 10 setiap bulannya. Pajak yang ditarik ada dua macam, yaitu pajak tempat tinggal dan pajak penggarap sawah hasil bumi.

Related Posts
1 daripada 41

Untuk pajak tempat tinggal tiap bulannya ditarik sebesar satu picis.Sementara untuk pajak penggarap sawah hasil bumi dibagi tiga dengan perincian petani penggarap mendapat 25 persen, tuan tanah 45 persen dan mandor 30 persen. Meski hanya mendapat 25 persen, para penggarap masih diwajibkan memberikan sebagian penghasilannya itu kepada mandor.

Atas jabatan yang dimilikinya itu, para mayor memiliki kekayaan yang berlimpah ruah dan tanah yang luas. Karena itu, mereka mendapat julukan sebagai “tuan tanah.”Ketika Hindia-Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, sekitar tahun 1808 hingga 1811, banyak lahan di Batavia, termasuk Kemayoran, dijual ke orang-orang kaya. Tanah-tanah itu umumnya dibeli oleh kalangan dari golongan Cina, Arab dan Belanda.

Pembelinya di antaranya, Rusendal, H Husein Madani (lndo-Belanda), Abdullah dan De Groof. Hal itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan pembangunan yang tengah dilakukan di Batavia, salah satunya adalah pembangunan jalan darat dari Anyer sampai Panarukan.

Pada masa itu, kawasan Kemayoran menjadi kawasan ‘hitam’. Sering terjadi tindak kejahatan. Pelakunya adalah para preman syang sengaja dibayar kompeni untuk mengacau. Para preman ini juga ditugasi kompeni untuk menarik pajak yang ‘mencekik leher’ dari warga pribumi.

Murtado yang jago silat, tak tinggal diam kampungnya ‘diobrak-abrik’. Murtado bak superhero di kawasan Kemayoran. Murtado berhasil mengalahkan preman suruhan kompeni yang terkenal sakti, Bek Lihun. Sejak itu, Murtado dinobatkan sebagai macan kemayoran, yang namanya juga dijadikan julukan klub sepakbola Jakarta (Persija). Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di Koja, Jakarta Utara.

Selain itu, Belanda saat itu tengah melawan dominasi Inggris yang telah merebut sejumlah koloninya. Setelah bandar udara Kemayoran dibangun sekitar tahun 1935, wilayah Kemayoran semakin banyak didatangi oleh para pendatang berasal dari Belanda maupun dari nusantara. Sebagian besar dari mereka tinggal di Jalan Garuda Bahkan setelah Perang Dunia II, banyak tentara Belanda yang berasal menetap di Kemayoran. Kemayoran kemudian dikenal dengan julukan “Belanda Kemayoran” karena banyak dihuni oleh orang Indo-Belanda.

Tinggalkan komen