Take a fresh look at your lifestyle.

Brexit dan Gejolak AS : Bank Indonesia Perlu Perkuat Cadangan Emas

0 1,105
foto : istimewa
foto : istimewa

Pertengahan tahun 2016 menjadi momen yang kurang menguntungkan bagi dunia. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) yang dikenal dengan Brexit telah menekan nilai Pound ke titik terendah selama 31 tahun terakhir.

Kondisi ini juga berdampak ke negara lain. Sesungguhnya Pound merupakan salah satu mata uang kuat (hard currency) di dunia dan menjadi pilihan cadangan devisa pada kebanyakan bank sentral di dunia. Namun demikian, Pound tetap tidak kebal terhadap perubahan lingkungan. Kondisi yang sama dapat dialami mata uang kuat lainnya.

Rentannya nilai mata uang suatu negara terhadap fluktuasi tajam terjadi karena negara-negara di dunia saat ini telah menggunakan Rezim Fiat Money. Pada rezim ini uang yang beredar di suatu negara tidak dikaitkan lagi dengan Emas maupun Perak di bank sentral.

Konsekuensinya, nilai mata uang tergantung semata-mata pada kepercayaan pemakainya terhadap mata uang tersebut dan negara pemiliknya.  Jika banyak pihak percaya kepada suatu negara, maka nilai mata uang negara tersebut akan kuat. Sebaliknya, jika orang kurang atau tidak percaya lagi, maka nilai mata uangnya akan terdepresiasi tajam dan bisa senilai lembaran kertas biasa.

Kepercayaan terhadap suatu negara umumnya tergantung pada kondisi ekonomi, politik, kebijakan pemerintah, dan keamanan. Jatuhnya nilai Pound lebih disebabkan oleh faktor politik dan kebijakan pemerintah yang dikaitkan dengan masa depan ekonomi Inggris Raya.

Namun, apa yang dialami Pound bisa saja berjangkit kepada US Dollar yang menjadi pemimpin mata uang dunia. Sebagai negara adidaya, banyak pihak memperkirakan Amerika Serikat (AS) tidak mungkin runtuh. Namun sejarah memperlihatkan banyak negara besar di masa lalu telah mengalaminya. Contoh konkrit adalah Romawi. Sebagai negara kekaisaran besar dan moderen di masa lalu, Romawi mengalami kehancuran yang disebabkan oleh musuh dari dalam negara sendiri.

Related Posts
1 daripada 6,416

Saat ini, AS sedang mendapat tekanan dalam negeri dimana isu rasial mengalami eskalasi yang tajam dan bisa berujung pada terganggu keamanan dan ekonomi negara tersebut secara masif. Faktor lainnya yang diperkirakan akan membawa pengaruh negatif bagi kondisi domestik AS ke depan adalah pemilihan presiden.

Kedua calon presiden negara ini diperkirakan akan menghadapi tantangan berat. Donald Trump yang kontroversial dalam sikap dan ucapannya telah mengundang kebencian pada kelompok-kelompok tertentu. Di sisi lain, Hillary Clinton bukanlah tanpa masalah. Jika Hillary menang, maka pertama kalinya AS memiliki presiden wanita sehingga berpotensi berhadapan dengan kelompok yang mempertahankan dominasi kaum pria.

Lebih lanjut, dari segi usia, kedua kandidat tidak muda lagi sehingga dipertanyakan kemampuan menghadapi tantangan berat AS saat ini, terutama potensi bola salju dari isu rasial.

Perkiraan situasi buruk yang bakal dihadapi AS, maka US Dollar berpotensi mengalami fluktuasi tajam di masa mendatang. Oleh sebab itu, Bank Indonesia (BI) perlu menata kembali portofolio cadangan devisa dengan memperbanyak emas moneter.

Memang nilai emas juga mengalami fluktuasi, namun tetap memiliki nilai yang memadai. Peningkatan jumlah emas moneter oleh BI dapat dipakai sebagai pengamanan nilai cadangan devisa Indonesia dari pengaruh eksternal.

Data yang dilansir World Gold Council per Juni 2015 menunjukan cadangan emas dunia mencapai 31.949 ton. Sebanyak 8113,5 ton atau  25,45% dari cadangan tersebut dimiliki AS. Sebaliknya, Indonesia hanya memiliki 78,1 ton atau 0,24% dari cadangan emas dunia. Bahkan di ASEAN, jumlah cadangan emas Indonesia lebih rendah dibanding Thailand dan Singapura, yang masing-masing berjumlah 152,4 ton dan 127,4 ton.

Mengingat bumi Indonesia memiliki deposit emas yang relatif besar, maka seharusnya BI tidak menghadapi kesulitan berarti dalam meningkatkan cadangan emas moneternya. Dengan cadangan emas yang besar, BI bisa menjaga nilai cadangan devisa secara keseluruhan dan kestabilan Rupiah dalam menghadapi dampak Brexit dan potensi terganggunya kondisi domestik AS.***

Penulis : Agus Tony Poputra – Ekonom Universitas Sam Ratulangi Manado

Tinggalkan komen