Take a fresh look at your lifestyle.

Tidak Optimalnya Hasil Renegosiasi Kontrak Karya di Sektor Minerba Berpotensi Melanggar Konstitusi & Merugikan Negara

0 2,635
foto : jakartakita.com/edi triyono

Jakartakita.com – Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara menyebutkan, guna mencapai tujuan-tujuan ketentuan Pasal 3 UU No. 30/2007 dan Pasal 2 UU No. 4/2009 lebih lanjut diatur tentang dominasi negara atas kekayaan alam yang dimiliki, sesuai Pasal 4 UU No. 30/2007 dan Pasal 4 UU No. 4/2009.

Secara umum, kedua pasal dalam UU No. 30/2007 dan UU No. 4/2009 menyebutkan bahwa sumber daya energi maupun sumber daya Minerba diatur oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan negara atas seluruh sumber daya tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

Menurut Marwan, jika merujuk pada prinsip penguasaan negara sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menjamin dominasi pengelolaan oleh BUMN, ternyata praktek pengelolaan sumber daya alam Minerba (juga migas, panas bumi, dan lain-lain) belum sepenuhnya terlaksana. Dalam penambangan batubara misalnya, BUMN hanya menguasai sekitar 6%.

“Begitu pula dengan sektor mineral, BUMN (Holding BUMN Tambang) kita diperkirakan hanya menguasai pengelolaan tambang sekitar 20-30%. Penyimpangan di atas memang bisa dimaklumi karena berbagai kontrak yang mengatur pengelolaan tambang-tambang tersebut dalam kontrak karya (KK) maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dibuat di masa lalu, dalam kondisi kemampuan negara yang masih terbatas dalam hal modal, teknologi, manajemen dan SDM,” papar Marwan dalam Seminar bertajuk ‘Menyoal Revisi ke 6 PP No. 23 Tahun 2010 tentang Usaha Minerba’ di Jakarta, Rabu (12/12/2018).

Ditambahkan, tidak optimalnya hasil re-negosiasi kontrak yang berpotensi melanggar konstitusi dan merugikan negara, dapat disebabkan oleh beberapa hal.

Umumnya para kontraktor cenderung untuk mempertahankan dominasi karena selama ini telah memperoleh banyak keuntungan.

Di sisi lain, para pejabat negara yang terlibat negosiasi tidak optimal memanfaatkan posisi dan tidak konsisten pula menjalankan peraturan yang berlaku.

“Guna mengakomodasi kepentingan kontraktor, dalam beberapa kesempatan, dilakukan pula perubahan peraturan atau kebohongan informasi. Ditengarai kedua belah pihak melakukan moral hazard,” ujar Marwan.

Dalam hal kewajiban pembangunan smelter misalnya, tutur Marwan, pemerintah telah melakukan beberapa kali relaksasi melalui penerbitan PP yang pada prinsipnya melanggar UU No. 4/2009.

Begitu pula dengan kewajiban divestasi saham untuk menjamin terwujudnya penguasaan negara, pemerintah pun kerap melanggar aturan agar kontraktor lama tetap dominan, atau BUMN luput untuk menjadi pengelola.

“Untuk mengakomodasi kepentingan menyimpang yang sarat moral hazard, antara lain telah terjadi perubahan atas PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebanyak 5 kali. Ternyata dalam waktu dekat pemerintah melalui Kementrian ESDM telah berniat pula untuk melakukan perubahan yang ke-6. Jika ditelusuri lebih rinci, ditemukan bahwa rencana perubahan tersebut lebih disebabkan oleh kepentingan para kontraktor mempertahankan dominasi pengelolaan tambang-tambang di Indonesia,” ungkap Marwan.

Related Posts
1 daripada 6,499

Dari draf perubahan PP No. 23/2010 yang sedang disiapkan oleh Kementerian ESDM tersebut ditemukan adanya ketentuan yang justru bertentangan dengan Pasal 83, Pasal 169 dan Pasal 171 UU No.4/2009.

Menurut Pasal 83, luas maksimal IUPK Operasi Produksi hanya 15.000 ha. Di samping berkewajiban untuk menyesuaikan ketentuan dalam KK dan PKP2B dengan ketentuan dalam UU Minerba, pemegang kontrak KK dan PKP2B tidak mempunyai hak sama sekali untuk memperoleh perpanjangan usaha pertambangan secara otomatis saat kontrak berakhir, walaupun bentuk kerja samanya berubah menjadi IUPK.

Lebih jauh, Marwan menyatakan, setelah berakhirnya suatu KK atau PKP2B, pemerintah mempunyai wewenang penuh untuk tidak memperpanjang kontrak.

Seluruh wilayah kerja (WK) tambang yang tadinya dikelola kontraktor harus dikembalikan kepada negara.

Negara berkuasa penuh atas WK tambang, yang kemudian berubah menjadi wilayah pencadangan negara (WPN).

Selanjutnya, kata Marwan, pengelolaan WPN ini dapat pula diserahkan kepada Holding BUMN Tambang atau oleh suatu BUMN khusus yang 100% sahamnya milik negara, yang kelak dapat digabungkan menjadi salah satu anggota Holding BUMN Tambang. Dengan demikian, pasokan energi batubara untuk PLN dan industri dalam negeri akan lebih terjamin.

Lebih lanjut diungkapkan, rencana revisi PP No. 23/2010 ditengarai, bertujuan untuk mengakomodasi perpanjangan pengelolaan operasi sejumlah tambang besar batubara oleh pengusaha PKP2B generasi pertama yang akan berakhir kontraknya dalam waktu dekat. Perpanjangan pengelolaan akan dilakukan melalui penerbitan izin/IUPK.

Adapun Kementrian ESDM mengatakan, perubahan PP No.23/2010 dilakukan guna memberikan manfaat yang optimal bagi kepentingan nasional dan kepastian berusaha bagi pemegang KK dan PKP2B.

Sementara itu, IRESS juga mengingatkan Presiden Jokowi untuk mematuhi konstitusi dan peraturan yang berlaku, serta konsisten menjalankan Nawacita dan Trisakti. Tidak seharusnya visi-misi hanya dijadikan sebagai program yang diusung saat kampanye guna meraih dukungan publik, namun berubah menjadi slogan kosong setelah berkuasa.

“Pemerintah harus menjamin dan membersihkan diri dari para genderuwo yang bergentayangan untuk merekayasa perubahan peraturan di sektor Minerba guna meraih rente dan keuntungan sempit para oknum oligarki,” tegas Marwan.

SDA minerba, lanjutnya, adalah kekayaan negara yang menjadi milik rakyat, bukan milik pemerintah.

“Praktek pengelolaan SDA yang cenderung tidak adil selama ini harus diakhiri melalui konsistensi pelaksanaan amanat konstitusi dan berbagai peraturan perundangundangan yang berlaku. Jika revisi PP No. 23/2010 tetap dilanjutkan, maka ketidakadilan akan terus berlangsung, sebab manfaat terbesar SDA milik rakyat tersebut akan terus dinikmati oleh para pengusaha dan oknum-oknum penguasa yang menjadi komponen oligarki,” tegas Marwan.  (Edi Triyono)

 

Tinggalkan komen