Hutang Indonesia Dinilai Sudah Berada di Posisi ‘Setengah Merah’
Jakartakita.com – Aliansi Kebangsaan dan Universitas Indonesia (UI) menggelar Serial Diskusi yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center pada Selasa (3/7/2018) lalu, dengan mengusung tema “Debat-Tak Debat: Utang Besar Buat Siapa?”
Diskusi ini menghadirkan mantan Menko Kemaritiman, Rizal Ramli yang mengulik tuntas soal hutang negara. Selain Rizal Ramli, juga hadir sebagai panelis Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, Ekonom Senior, HS Dilon, Pakar Soft Skill Universitas Indonesia (UI), Taufik Bahaudin dan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UI, Bambang Wibawarta. Bertindak sebagai moderator adalah pakar komunikasi politik, Effendi Gazali.
Dalam pembahasannya, Rizal Ramli menilai bahwa hutang Indonesia sudah berada di posisi “setengah merah”.
Ia juga menyayangkan jika masih ada pejabat yang menganggap remeh posisi hutang Indonesia.
“Mereka bilang, Indonesia hutang per GDB-nya lebih rendah dari Jepang. Lihat lah statistik behind Jepang. Sekitar 80 persen hutang Jepang itu sumbernya domestik, dari rakyat dan dari perusahaan dalam negeri. Sehingga jika terjadi gejolak internasional, ketahanan ekonomi Jepang tidak akan terpengaruh,” papar Rizal Ramli.
Menurutnya, indikator yang lazim dipakai di seluruh dunia adalah debt service ratio, yaitu rasio cicilan hutang dibandingkan dengan ekspor.
“Yang normal itu 20 persen, lebih dari itu tidak prudent. Ini ada Menteri Keuangan yang selalu ngomong bolak-balik bilang, kami prudent,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia juga mengkhawatirkan kepemilikan mosal asing di pasar obligasi yang lebih dari 50 persen.
“Itu artinya sangat sensitif terhadap gejolak ekonomi internasional,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo menilai penting diskusi seperti ini, yang menurutnya memberikan edukasi politik bagi masyarakat luas, khususnya dalam mempersiapkan diri menghadapi Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang.
“Pendidikan politik yang baik ini sangat penting, bukan saja mencakup latar belakang sejarah lahirnya Negara, tapi juga dasar dan Ideologi Negara, serta struktur, kultur dan prosedur politiknya, baik secara formal, non-formal serta informal,” terang Pontjo.
Menurut Pontjo, pendidikan politik tidaklah bersifat statis, tetapi dinamis dan berkelanjutan yang harus dilakukan secara terus-menerus dari satu generasi kepada generasi berikutnya.Terputusnya pendidikan politik akan mempunyai pengaruh yang besar pada kualitas kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
“Saya percaya bahwa pendidikan politik tentang presiden dan lembaga kepresidenan perlu mendapat perhatian khusus karena presiden dan lembaga kepresidenan merupakan simbol dan personifikasi dari negara dan pemerintah,” papar Pontjo.
Adapun serial diskusi yang merupakan tradisi akademik yang pernah dilakukan oleh DGB UI tahun 2014 ini, juga akan mengudang beberapa pembicara hingga akhir Agustus 2018.
“Pembicara tidak dibatasi hanya para bakal maupun calon Presiden saja, tetapi semua tokoh yang memiliki gagasan besar dalam membangun dan memajukan Indonesia ke depan,” tandasnya.