“Di lingkup pendidikan misalnya, terjadi tindakan kekerasan terhadap anak dengan pola dan kekhasan modusnya. Baik berupa tidakan kekerasan kasat mata yang dilakukan guru ataupun pola kekeraan yang laten. Di lingkup kesehatan dan sosial kita juga dapat menemukan pola kekerasan terhadap anak. Jadi, kekerasan terhadap anak terjadi pada berbagai segementasi, dengan beragam pola dan modus. Riset yang dilakukan IMMC mencoba untuk memetakan kategorisasi tersebut,” demikian disampaikan Muhammad Farid, Direktur Riset IMMC dalam rilis yang dikirimkannya.
Hasil riset IMMC menunjukkan bahwa 26% tindakan kekerasan terhadap anak terjadi pada lingkup sosial, 14% lingkup hukum, 11% pendidikan dan kesehatan, 2% ekonomi dan 1% agama. “Pertama, hasil riset ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak ada yang bersifat eksplisit, tapi ada juga yang laten. Karena itu, dibutuhkan paradigma yang komprehensif dan jeli dalam melihat persoalan ini. Yang kedua, hasil riset menunjukkan bahwa kekerasan anak terjadi pada berbagai dimensi kehidupan dan bidang. Sangat merata. Maka, solusi menangani persoalan ini juga harus mencakup seluruh dimensi, tidak segmented,” jelas Farid.
Farid mengatakan bahwa dimensi sosial memang sangat rawan memunculkan tindak kekerasan anak. Karena domain ini berkaitan pola relasional antar individu, sehingga rentan memicu terjadinya kekerasan. Karena itu, relevan jika di segmentasi sosial, kekerasan terhadap anak paling tinggi dibanding yang lain, 26%.
Selain itu, di lingkup hukum dan pendidikan, kekerasan anak juga sering terjadi. Ini perlu mendapat perhatian, karena dua aspek itu pada dasarnya adalah “rumah proteksi” bagi anak.
“Jika hukum tak lagi memberikan fungsi proteksinya, lalu pada siapa anak akan melindungi diri dan masa depannya? Sekolah juga lingkup dimana anak seharusnya merasa sangat aman. Tapi nyatanya, 11% kekerasan anak terjadi dalam lingkup pendidikan. Bahkan, hasil riset kami menunjukkan jika dilihat berdasarkan lokasi tempat dilakukannya kekerasan anak, 19% terjadi di sekolah. Dan jika ditelusuri latarbelakang pelakunya, 15% kekerasan anak dilakukan oleh guru. Ini sangat ironis dan menyedihkan sekali. Anak-anak kehilangan rasa aman di lokasi dimana seharusnya mereka mendapatkan proteksi penuh,” jelas Farid.
Selain enam aspek yang disebutkan diatas, hasil riset IMMC menemukan ada kekerasan yang dikategorikan kekerasan khusus. Persentasenya paling tinggi diantara yang lain, yaitu 35%. Lebih tinggi dari kekerasan di segmen sosial.
Tindak kekerasan khusus ini, berdasarkan hasil riset, terjadi dalam beberapa modus. Diantaranya eksploitasi ekonomi dan seksual (49%), berhadapan dengan hukum (21%), minoritas dan terisolasi (11%), perdagangan anak (9%), trafficking (7%).
Tentang hal ini, Farid menjelaskan:”Kita bisa lihat bahwa varian kekerasan terhadap anak sangat banyak dan spesifik. Anak menjadi objek yang lemah secara sosial dan hukum, sehingga rentan menjadi sasaran tindak kekerasan dalam beragam bentuknya. Ekonomi dan seksual merupakan modus dominan. Anak sering dijadikan alat eksploitasi ekonomi dan seksual.”
Riset IMMC menunjukkan bahwa dari berbagai penyebab tindakan kekerasan terhadap anak, 12% nya adalah penyebab ekonomi. Jadi, ekonomi sering dijadikan (menjadi?) pemicu dilakukannya tindak kekerasan terhadap anak. Selain ekonomi, pemicu lainnya adalah disfungsi keluarga (10%), paradigma yang keliru (6%), hingga internet (5%), televisi (3%), da game (1,5%). Sementara, sebanyak 55% penyebabnya “lain-lain”. Jadi, latarbelakang penyebab terjadi kekerasan terhadap anak sangat variatif. Rentannya anak menjadi objek tindak kekerasan, harusnya membuat pemerintah lebih serius untuk melakukan proteksi dan penjatuhan sanksi terhadap pelakunya.
IMMC Jakarta
-Rio Yotto – rio@jakartakita.com