Intensitas Black Campaign Semakin Marak

Jakartakita.Com: Riset media yang dilakukan Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) menunjukkan bahwa isu black campaign pada Pemilukada Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2012 sangat tinggi. Ini berbeda jauh dengan ajang Pemilukada DKI periode sebelumnya. “Ini salah satu degradasi dalam demokratisasi politik yang kita prihatinkan bersama. Apalagi di Pemilukada DKI yang sebenarnya merupakan prototype progresifitas perpolitikan Indonesia di tingkat nasional,” jelas Muhammad Farid, Direktur Riset IMMC, dalam rilisnya.

Riset IMMC menjaring berbagai isu yang muncul dalam pemberitaan Pemilukada DKI 2012 putaran kedua ini. Hasilnya, ada tiga isu besar yang muncul, yaitu: kegiatan masing-masing pasangan cagub, dinamika di social media, dan black campaign. Dari ketiga isu itu, black campaign yang paling dominan, yaitu 48%. Sementara kegiatan kedua cagub 43% dan sosial media 8%.

“Bisa dilihat bahwa isu-isu yang mengarah pada kampanye hitam sangat tinggi intensitasnya. Bahkan mengalahkan isu-isu yang lain. Isu ini dalam konteks yang umum. Baik berbentuk tuduhan, bantahan, sanggahan dan lain sebagainya. Kami menangkap semua bentuk isu yang terkait dengan black campaign, mengkoversikannya dalam persentase dan mengkomparasikannya dengan isu-isu yang lain.  Dan hasilnya menunjukkan bahwa black campaign sangat mendominasi ‘lalu lintas’ opini media dan publik di putaran kedua ini,” Farid menjelaskan.

Farid menambahkan, “Jelas ini bukan bukan iklim yang baik untuk sebuah proses demokratisasi. Kita tidak dapat memastikan secara valid dari mana isu-isu semacam ini bersumber dan kemudian merebak sebagai isu publik. Karena sudah sangat carut marut dengan berbagai kepentingan kelompok.”

Riset IMMC menunjukkan ada tiga pola black campaign ini, yaitu isu SARA, isu tentang prestasi-prestasi kepemimpinan yang dituduh tidak valid dan isu tentang orientasi politik tersembunyi yang ingin dicapai seorang kandidat. “Riset kami menunjukkan bahwa isu SARA merupakan yang tertinggi, 69%. Sementara isu orientasi politik 19% dan prestasi yang tidak valid 11%. Isu ini berkembang pesat pada tingkat opini publik. Maisng-masing cagub sama-sama merasakan imbas dari isu-isu yang tidak produktif ini,” jelas Farid.

Menurut Farid, dominannya isu black campaign ini merupakan defisit tersendiri dalam progresifitas perpolitikan nasional. Dan sebagai sebuah fakta, ini penting untuk dianalisis lebih lanjut, agar bisa ditelisik latar belakangnya, modus, pola dan bagaimana tingkat pengaruhnya terhadap perilaku pemilih.

“Selama ini, berbagai riset menyimpulkan bahwa era politik yang bernuansa sektarian sudah tidak relevan lagi. Bisa saja, fenomena merebaknya isu black campaign di Pemilukada 2012 ini hanya pada tingkat opini media semata, tidak merepresentasikan karakter politik pemilih. Ini sangat mungkin terjadi, mengingat Pemilukada DKI putaran kedua ini juga melibatkan ‘perang’ opini media dan publik secara gencar oleh masing-masing kandidat,” jelas Farid.

Tapi menurut Farid, fakta yang lebih meyakinkan akan terlihat pada hasil Pemilukada 20 September nanti. Hasil itu bisa menjadi salah satu teropong dalam menelaah fenomena politik Jakarta, kaitannya dengan isu-isu sektarian dan agama.

Secara umum, Farid berpandangan bahwa proses demokratisasi harus terus diarahkan pada iklim politik yang positif dan produktif. Salah satunya dengan menghindari berbagai isu-isu yang bernuansa SARA. Para kandidat harus berkomitmen untuk fokus pada isu program, visi, gagasan dan adu argumentasi yang ilmiah dan rasional.

Rio Yotto | Jakartakita.Com | IMMC Jakarta

Black Campaign
Comments (0)
Add Comment