“Saat itu, khususnya di Jawa Tengah, banyak orang menganggap profesi Marketing itu identik dengan Sales yang biasanya dilakoni laki-laki. Dan biasanya pekerjaannya lebih banyak ke lapangan, door to door menawarkan produk,” cerita Lusiani, soal pengalamannya saat pertama kali lulus kuliah sekitar tahun 2005 lalu.
“Tak heran, kalau perempuan kebanyakan memilih sebagai akunting, yang kerjanya back office,” sahutnya lagi.
Lebih lanjut dijelaskan, dunia marketing sangat berbeda dengan bekerja di back office. Di dunia marketing, seorang marketers akan banyak ketemu orang, banyak network, dapat menambah teman dan ilmu, serta dapat menambah wawasan karena bertemu dengan konsumen yang datang dari berbagai kalangan yang beraneka ragam profesi dengan berbagai karakter.
“Sifatnya marketing kan sebagai konsultan, jadi kita memberi advice produk yang kita jual seperti apa. Di industry property, kita bisa jelaskan plus-minusnya sebuah produk property. Jadi lebih banyak pendekatan personal yang bisa kita lakukan ke konsumen,” urai Lusiani, cewek berzodiak Cancer yang gemar seafood ini.
Diakuinya, sejak awal, dirinya sudah menyukai dunia marketing. Tak heran, saat kuliah di Atmajaya Jogyakarta juga mengambil jurusan Pemasaran. Tapi ketika pertama kali lulus di tahun 2005, ia sempat ditawari beberapa pekerjaan sebagai Akuntan. “Padahal maunya saya kan jadi Marketing,” katanya sembari tersenyum.
Pernah mencoba beberapa bulan bekerja sebagai akunting, membuatnya pusing. Dari pagi hingga sore hanya duduk dibalik meja komputer dan berkutat dengan angka.
“Akhirnya saya ngga kuat dan memilih resign, setelah 5 bulan bekerja,” katanya sembari tertawa.
Bencana gempa bumi di Jogyakarta tahun 2005, membawa perubahan penting dalam hidup dan karirnya. Tahun 2006 ia memutuskan pergi mengadu nasib ke Jakarta. “Mencoba sendiri melamar kerja di perusahaan property, sebagai Marketing. Saya mulai dari nol, dengan membagi-bagikan brosur dan flyer. Itu kan senjatanya orang marketing. Jujur aja, sebagai orang yang datang dari kota kecil, saya belum ada database konsumen,” sahutnya.
Namun menurutnya, tantangan seperti itu harus dihadapi seorang marketer. Target yang ditetapkan perusahan juga mesti tercapai. Tapi baginya, hal itu justru menjadi motivasi untuk bekerja lebih giat lagi. Kerja keras, menjadi kunci sukses bagi seorang pemasar, begitu keyakinannya.
“Misalkan setiap bulan harus menjual 3 unit apartemen, berarti setiap hari kita harus ketemu 10 orang, misalnya,” jelasnya.
Sementara itu, menyikapi perkembangan teknologi yang berkembang pesat, menjadi tantangan tersendiri bagi seorang marketers. Dewasa ini, dalam memasarkan sebuah produk tidak lagi hanya lewat brosur dan membagikan flyer. Sekarang, marketer juga dapat memasarkan secara online lewat website yang dimiliki perusahaan.
“Apalagi dengan adanya gadget dan internet, dapat memudahkan marketer dalam memasarkan produk yang ditawarkan, lewat BBM, SMS blust dan-lain-lain dengan hanya memforward pesan yang ingin kita sampaikan ke konsumen,” tukas perempuan kelahiran Gombong, Jawa Tengah, 32 tahun lalu.
Kini, Lusiani sedang focus dalam memasarkan proyek mix used development Grand Sungkono Lagoon di Surabaya yang dikembangkan PT PP Property. “Ingin sekali proyek Grand Sungkono Lagoon sukses dipasaran. Ini tantangan baru bagi saya. Karakteristik pasar Surabaya sangat berbeda dengan di Jakarta.Di Surabaya, ikatan kekeluargaan konsumen sangat kental. Kalau satu konsumen suka, kita akan mudah mendapatkan konsumen lainnya, lewat word of mouth. Tapi begitu mengecewakan mereka, selesai sudah usaha kita dalam memasarkan produk ini,” tandasnya.