Jakartakita.com – Di sebuah seminar di Jakarta, Senin (22/9) lalu, ekonom Faisal Basri mengatakan, masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang akan bergulir tahun 2015 mendatang, merupakan tantangan bukan ancaman. Pasalnya, sejak jaman Kerajaan Sriwijaya dulu, pedagang kita sudah menjual produknya ke India bahkan Afrika. Begitupun sebaliknya.
“Yang jadi masalah adalah merubah mindset, karena 80 persen pengusaha kita orientasinya pasar domestik. Padahal negara lain juga berpotensi untuk digarap,” kata Faisal.
Namun demikian, diakuinya, Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar. Dengan potensi pasar domestik yang sangat besar tersebut, jelas Faisal, bisa dijadikan sebagai latihan untuk bisa berkompetisi di pasar Internasional.
“Pasar domestik bisa dijadikan latihan menghadapi persaingan. Meski kita tahu, dalam hal kompetisi, kita lemah dalam SDM. Kita kekurangan SDM yang berkualitas. Di Dirjen Pajak saja, SDM yang dimiliki cuma 30ribu. Di Jerman saja ada 100ribu pegawai pajak yang benar-benar fokus mengurusi pajak masyarakat,” urainya.
Lebih lanjut dijelaskan, dalam menyikapi kondisi yang ada, ditengah berbagai kekurangannya dalam menghadapi MEA, menurut Faisal, Pemerintah mesti segera membangun industri, karena selama ini potensi negara yang besar ini, anggaran pembangunannya disedot oleh subsidi BBM.
“Padahal, jika tidak tersedot untuk subsidi BBM, uangnya bisa untuk yang lain,” kata Faisal lagi.
Untuk membangun industri di Indonesia, lanjut Faisal, butuh rasionalisasi untuk membangun infrastrukturnya.
“Makanya saya bilang insentif struktur mesti dibenahi. Industri ingin regulasi yang sehat agar setiap pengusaha bisa bersaing secara sehat. Kalau pemerintah ngga bisa bantu, jangan ganggu!” katanya.
Menurut Faisal, tugas pemerintah sejatinya untuk menurunkan big cost pengusaha. Bukan malah membuat regulasi yang menyebabkan terjadinya high cost economic. Karena dalam sebuah industri, variable cost adalah urusannya pengusaha.
Ia lantas mencontohkan di industri smelter yang selama ini belum berjalan optimal. “Kenapa sih industri smelter belum jalan, karena belum maksimal infrastruktur pendukungnya,” tegasnya.
Faisal lantas menyinggung soal buruknya perencanaan pemerintah dalam menyusun anggaran (APBN). Buruknya perencanaan pemerintah selama ini, dinilainya jadi biang kerok perlambatan ekonomi.
Misalnya saja, kata Faisal, dalam penyusunan APBNP 2014 yang angka besaran subsidi energi sangat tidak realistis dengan kondisi yang ada. Kemudian Pemerintah mengantisipasi dengan mengeluarkan surat utang. Pada saat bersamaan Pemerintah juga mengeluarkan Inpres, seluruh kementerian dan lembaga untuk pengetatan pemakaian anggaran.
“Ini gimana? Saat spending pemerintah turun, sementara utang banyak, akhirnya dana Pemerintah habis untuk ngurusin utang melulu,” tegasnya.
Kedepan, Faisal berharap pemerintahan Presiden terpilih Jokowi-JK mampu berpikir kreatif dalam menyiasati penggunaan anggaran. “Jangan lagi anggaran habis untuk penggunaan yang tidak berdampak bagi kepentingan rakyat banyak,” tandasnya.