Perbankan Jangan Ikut Naikan Suku Bunga Kredit

Jakartakita.com – Ekonom Bank Himpunan Saudara‎, Rully Nova di Jakarta, Rabu (19/11), mengatakan bahwa langkah kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menaikan suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 7,75 persen sebagai dampak dari kenaikan harga BBM semestinya tidak diikuti kalangan perbankan nasional dengan menaikan suku bunga kredit.

“Sebaiknya jangan ikut-ikutan menaikan suku bunga kredit ya,” kata Rully.

Diakuinya, dampak kenaikan BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 7,75 persen akan memberatkan industri perbankan nasional yang memang saat ini sedang mengalami kesulitan likuiditas. Apalagi rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) di empat sektor, yakni di konstruksi, pertambangan, perdagangan, dan jasa sosial cenderung meningkat.

“Walaupun saat ini NPL berada pada level 2,29%, namun ada kecenderungan meningkat dikarenakan perlambatan ekonomi dan beban kenaikan harga BBM,” ujar Rully.

Dijelaskan, dengan kondisi kenaikan BI rate yang sekarang di level 7,75 persen dan kenaikan BBM sekitar 30 persen, akan berpengaruh terhadap jumlah pendapatan perbankan yang sebelumnya sudah cukup besar. Sebagai informasi, laba perbankan pada Januari-September 2014 (year to date/ytd) mencapai Rp 85,37 triliun, lebih tinggi 8,7 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang senilai Rp 78,51 triliun. Sementara hingga September 2014, penyaluran kredit perbankan mencapai Rp 3.561,3 triliun atau tumbuh 13 persen secara year on year (yoy).

Ia pun memperkirakan, jika pun kalangan perbankan akan menaikan suku bunga kreditnya, hal tersebut tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. “Mungkin perbankan akan merespons tidak dalam waktu dekat ini, tidak langsung naikin juga. Paling cepat satu bulan ke depan, itupun tergantung kondisi likuiditasnya,” kata dia.

Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengakui, saat ini BI sedang mencermati naiknya rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) di empat sektor, yakni di konstruksi, pertambangan, perdagangan, dan jasa sosial.

BI mencatat pada Juli 2014, NPL sektor konstruksi sebesar 4,43% atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 4,24%. Sedangkan pada sektor pertambangan NPL tercatat sebesar 3,09%, naik dari bulan sebelumnya 2,49%. Lalu sektor perdagangan mencatat NPL 3,06% dari 2,92%, dan jasa sosial 2,96% dari 2,48% pada bulan sebelumnya.

Selain rasio NPL, BI juga mengembangkan indikator yang didasarkan pada data historis untuk melihat potensi perpindahan kualitas kredit yang tergolong lancar, menjadi kurang lancar ataupun macet. Berdasarkan indikator tersebut dan perkembangan terkini, terdapat tiga sektor yang perlu diperhatikan yakni sektor konstruksi, pertambangan, dan perdagangan.

Kepala Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ganjar Mustika, mengatakan secara umum kinerja perbankan domestik saat ini relatif terjaga baik. Kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) industri perbankan secara rata-rata terus meningkat dan per September 2014 tercatat di kisaran 19,5 persen.

Walau sedikit mengalami peningkatan, ujar dia, non performing loan (NPL) gross perbankan per September lalu masih terkendali di level 2,29 persen, dan NPL net 1,19 persen.

“Rentabilitas perbankan juga menunjukkan angka yang positif. Laba akumulasi secara year to date sampai posisi September 2014 sebesar Rp 85,37 triliun, relatif lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun lalu Rp 78,51 triliun. Sementara NIM (net interest margin) maupun ROA (return on asset) masing-masing 4,2 persen dan 2,9 persen,” tandasnya.

 

Bank Indonesiabbmbi ratenon performing loannplperbankanrasio kreditsuku bunga acuan
Comments (0)
Add Comment