Bayi terinfeksi HIV sering menunjukkan gejala klinis pada tahun pertama kehidupannya. Tanpa pengobatan yang efektif, diperkirakan sepertiga bayi terinfeksi akan meninggal dunia sebelum usia satu tahun, dan kurang lebih separuh sebelum usia dua tahun.
Anak-anak yang terinfeksi HIV tetap bisa hidup sehat dan produktif jika sejak dini menjalani pengobatan ARV (obat antiretroviral). Sayangnya masih banyak hambatan yang dihadapi sehingga tingkat kepatuhan konsumsi obat rendah.
Seperti halnya pengobatan ARV bagi orang dewasa pengidap HIV/AIDS, anak-anak yang terinfeksi HIV memerlukan konsumsi obat yang teratur, pemeriksaan kesehatan berkala, serta pendampingan psikologis.Tanpa pendampingan psikologis, anak akan malas mematuhi jadwal minum obat tiap 12 jam sekali atau dua kali sehari.
Ketidak-disiplinan penderita HIV dalam melakukan terapi ARV tahap awal akan membuat virus menjadi imun dan harus menjalani terapi tahap selanjutnya yang jauh lebih mahal. Pada terapi tahap awal, biaya yang harus dikeluarkan per bulan adalah Rp 300 ribu – Rp 350 ribu. Sedang pada tahap kedua, biaya yang dikeluarkan perbulan adalah Rp 1 juta – Rp 1,2 juta. Tahap ketiga, membutuhkan biaya minimal Rp 36 juta karena obat masih diimpor dari luar negeri. Saat ini, pemerintah hanya menyediakan terapi ARV gratis untuk tahap satu dan dua.
Untuk menekan jumlah anak yang terinfeksi HIV. Ibu dengan HIV positif harus menjalani terapi ARV sejak hamil untuk mengurangi resiko bayi tertular HIV. Ibu hamil dengan HIV positif tanpa menjalani terapi, beresiko bayi 35-30 persen. Sedangkan apabila sudah menjalani terapi ARV saat hamil, resiko bayi tertular hanya 2 persen.