Sebelumnya, wacana soal pajak e-commerce ini muncul pada pertengahan Februari lalu. Pemerintah berencana melibatkan tiga kementerian terkait pajak ini, yaitu Kemenkominfo, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Walau begitu nantinya mekanisme pajak akan membedakan antara e-commerce yang sudah besar dengan perusahaan rintisan digital (startup).
Dalam mekanisme aturan pajak e-commerce itu disebutkan bahwa setiap badan usaha yang memiliki pendapatan di bawah Rp 4,8 miliar per tahun, wajib membayar pajak penghasilan sebesar 1 persen dari penghasilan per bulan. Sedangkan badan usaha yang berpenghasilan di atas angka itu per tahunnya, mekanismenya melalui pembukuan yang lebih spesifik.
Ditjen Pajak sendiri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-62/PJ/2013 (SE-62). Di situ tertera empat jenis e-commerce yang memiliki kewajiban membayar pajak.
Pertama, marketplace, yaitu kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha untuk para penjual menjajakan barang atau jasa dagangannya di internet, misalnya tokopedia, elevenia, rakuten.
Kedua, classified ads atau situs untuk menampilkan konten (teks, grafis, video, dan informasi) barang bagi pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada pengguna iklan melalui situs yang disediakan, misalnya Kaskus, Berniaga, dan TokoBagus.
Ketiga adalah daily deals, yaitu wadah merchant yang menjual barang atau jasa menggunakan kupon sebagai sarana pembayaran, misalnya LivingSocial, Groupon Disdus, dan LaKupon.
Keempat, online retail, yaitu situs jual beli barang atau jasa oleh penyelenggara online retail kepada pembeli, misalnya berbagai media sosial, situs Lazada, Zalora.