Jakartakita.com – Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Para ahli sejarah menghubung-hubungkan kemunculan kerajaan ini sebagai kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara.
Dari situs peninggalan sejarah kerajaan Tarumanagara diketahui kalau ibukota kerajaan Hindu terbesar di Pulau Jawa ini berada di tepi sungai Candrabagha. Oleh seorang profesor sastra Jawa Kuno diidentifikasikan dengan sungai Bekasi. ‘Candra’ berarti bulan atau ‘sasi’, jadi ucapan lengkapnya ‘Bhagasasi’ atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur itu.
Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal lahan persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang -orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini ma sih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen.
Petani Betawi menyanyikan lagu sambil menggerak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel sebagai ungkapan kegembiraan.
Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara ‘nyadran’. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.