Mengungkap Jejak Belanda-Depok di Tanah Cornelis

foto: istimewa

Jakartakita.com – Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar istilah Belanda Depok. Sebuah istilah yang digunakan orang untuk menyebut para keturunan Belanda di Depok. Sebetulnya benarkah ada keturunan Belanda di Depok?

Depok menyimpan sejarah yang sangat menarik untuk ditelusuri. Menurut berbagai sumber, Depok sebuah kota di selatan Jakarta ini telah ada sejak 1693. Saat itu Belanda masuk untuk membuka perkebunan dan pertanian di Depok.

Depok saat itu merupakan sebuah kawasan tersendiri yang sengaja dibentuk oleh Kompeni Belanda. Adalah Cornelis Chastelein sang tuan tanah Belanda yang membeli ribuan hektar tanah di sana dan membukanya sebagai lahan perkebunan dan pertanian pada tahun 1696. Untuk mengelola tanah tersebut, Cornelis mendatangkan budak-budak dari berbagai suku. Mereka diantaranya Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa, Pulau Rote serta Filipina.

Beberapa literatur sejarah mencatat jika Cornelis dulunya bekerja untuk VOC. Namun ketika pergantian Gubernur Jenderal VOC diganti dari Camphuys menjadi Van Outhoorn, Cornelis memilih untuk mengundurkan diri. Dia merasa jika misi VOC sebagai perusahaan dagang sudah tak sesuai.

Tak hanya Depok, Cornelis juga membeli tanah di Jatinegara, Kampung Melayu, Karanganyar, Pejambon, dan Mampang. Adapun tanah Depok di beli dengan harga 700 ringgit, dan status tanah itu adalah tanah partikelir atau terlepas dari kekuasaan Hindia Belanda.

Berbeda dengan VOC, Cornelis yang merupakan seorang misionaris memperlakukan para budaknya secara manusiawi. Singkat cerita, sejak usia 36 tahun Cornelis rupanya sudah membuat surat wasiat. Lima kali sampai Cornelis wafat dia mengganti isi surat wasiatnya itu. Rupanya Cornelis jauh lebih manusiawi, 146 tahun sebelum Undang-Undang Perbudakan dihapus tahun 1860, dia telah menuliskan untuk membagikan tanah dan hartanya kepada bekas budak-budaknya. Dalam surat wasiat itu Cornelis menghapus ikatan perbudakan.

foto: istimewa

Sejak saat itu bekas budak-budak Cornelis mendapatkan sebidang tanah sesuai surat wasiat. Untuk mengatur pembagian wasiat di dalam surat tersebut, Cornelis membaginya secara adil. Tujuannya agar bekas para budaknya hidup tidak dalam ketergantungan dan terlantar pada pihak ketiga termasuk keturunan keluarga Cornelis.

Kedua belas marga keturunan budak Cornelis itu adalah  Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh. Namun keturunan marga Zadokh sudah tidak ada, karena tidak adanya generasi penerus laki-laki di marga tersebut. Kedua belas keturunan budak inilah yang menjadi cikal-bakal penyebutan ‘Belanda Depok’ untuk menyebut pribumi yang memiliki wajah kebule-bulean yang banyak bermukim di Depok.

Tentu saja surat wasiat yang mengatur pembagian tanah untuk para mantan budak Cornelis membuat pemerintah Belanda berang. Maka dengan segera pemerintah Belanda mengirim utusan untuk membatalkan isi surat wasiat tersebut, dan mengubahnya menjadi tanah Depok yang diwariskan kepada anak Chastelein.

Bagi pemerintah Belanda pengguguran surat wasiat itu cukup beralasan, sebab dalam undang-undang pemerintah kerajaan Belanda, tidak di benarkan seorang Belanda mewariskan hartanya kepada orang lain, di luar orang Belanda.Tapi pemerintah Belanda masih mau bersikap luwes. Dibalik surat wasiat Chastelein disebutkan, bahwa para pekerja masih diijinkan menggarap tanah yang selama ini mereka kerjakan dengan status hak pakai. Secara hukum berarti para bekas pekerja berstatus penggarap sekaligus berhak menikmati sebagian hasil dari garapannya.

Dan nyatanya, lama kelamaan hak pakai atas tanah tersebut berubah menjadi hak milik. Atau dikenal dengan Deelgerehtigen. Pada jaman pendudukan Hindia Belanda, para bekas pekerja ini memang bisa hidup cukup enak. Mereka berpendidikan, bekerja di pemerintahan dan menjadi petani kaya dengan tanah puluhan hektar.

Namun pada ketika jaman pendudukan Jepang, mereka mulai merasakan kesulitan hidup. Dan titik baliknya nasib mereka adalah ketika Indonesia merdeka. Rasa cemburu penduduk sekitar Depok tak tertahankan, karena Belanda menganakemaskan Depok selama 2 abad lebih. Orang-orang Depok banyak yang mati dan harta mereka banyak yang di rampok.

Pada tanggal 4 Agustus 1952. Pemerintah Indonesia , waktu itu mengeluarkan ganti rugi sebesar Rp. 229.261,26,-. Seluruh tanah partikelir Depok menjadi hak milik pemerintah RI, kecuali hak-hak eigendom dan beberapa bangunan : Geraja, Sekolah, Pastoran, Balai pertemuan, dan Pemakaman seluas 0,8621 ha.

Untuk menjaga warisan Cornelis, keturunan bekas budak-budak pun membentuk Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein. Tujuan mereka bisa menjaga peninggalan sejarah Kota Depok di Jalan Pemuda. Bangunan-bangunan bersejarah itu diantaranya, Rumah Sakit Harapan, Sekolah dasar Negeri 2 Depok. Gereja Imanuel, TPU Kamboja dan Gedung yang kini dijadikan Yayasan Sekolah Kasih.

Belanda DepokCornelis ChasteleinDepokmisionarisVOC
Comments (0)
Add Comment