Hingga saat ini, usaha tingkat nasional dan regional untuk mengadopsi strategi keamanan dunia maya secara komprehensif masih lambat dan terpecah-pecah, mengurangi keamanan ASEAN dan mengerdilkan fungsi pasar yang sesungguhnya.
Padahal, WEF 2015 di Davos menyatakan bahwa disamping meningkatnya pengangguran dan kegagalan melakukan penyesuaian atas perubahan iklim, serangan dunia maya menempati peringkat sebagai salah satu dari 10 resiko jangka panjang yang paling signifikan di seluruh dunia.
Penundaan dalam penggunaan kemampuan keamanan dunia maya dapat mengakibatkan kerugian nilai ekonomi setara US$ 3 triliun pada tahun 2020 (sumber: WEF, Risk and responsibility in a hyperconnected world).
Dalam kasus ini, pasar-pasar yang berkembang tidak kebal terhadap ancaman dunia maya. Pada kenyataannya, dengan semakin besarnya peran mereka dalam rantai pasokan global justru meningkatkan daya tarik mereka di mata para penyerang dunia maya terutama jika tata kelola mereka lemah sementara mereka mengelola data pelanggan perusahaan global yang sensitif.
Serangan dunia maya terbaru yang dialami Sony Pictures Entertainment menyadarkan organisasi di seluruh dunia akan bahaya yang mengancam bisnis mereka. Serangan tersebut menonaktifkan komputer, dan karyawan menemukan bahwa mereka telah kehilangan semua e-mail, kontak, daftar distribusi, anggaran dan hal lainnya yang tersimpan dalam jaringan.
Sementara itu beberapa organisasi yang lebih besar memahami risiko yang ada dan bersedia untuk menginvestasikan biaya yang tidak terjangkau UMKM untuk memasang sistem tersebut. Padahal UMKM merupakan komponen penting dalam rantai pasokan global. Kebanyakan UMKM mungkin tidak memahami kerumitan dari rantai pasokan global dimana mereka menjadi bagian di dalamnya, sehingga mereka tidak menyadari kemungkinan kerugian apabila sistem mereka diretas.
Mengingat serangan-serangan yang telah terjadi cenderung mendera perusahaan besar di negara maju yang memiliki resiko keuangan yang tinggi, tidak heran jika UMKM menyepelekan risiko yang mungkin datang.