Siapa di antara Anda yang belum pernah merasakan bokek? Kalau ada yang belum tahu arti kata bokek. Sini, mari saya beritahu.
Bokek adalah istilah bahasa pergaulan atau ‘slang’ yang berarti kehabisan uang, atau kondisi keuangan sedang menipis.
Ya, hampir semua orang pasti pernah mengalami kondisi bokek alias ‘kantong kering’. Tak peduli orang kaya atau miskin, bisa dipastikan pernah merasakan pedihnya bokek.
Jangankan mereka yang sehari-hari menganggur tidak punya mata pencaharian tetap. Orang gajian pun sering merasakan betapa lelahnya menghitung hari gajian yang masih lama padahal sedang bokek. Tanggal tua menjadi momok mengerikan bagi para orang gajian.
Bokek memang tak memandang jumlah nominal penghasilan bulanan. Mereka yang penghasilannya puluhan juta bahkan ratusan juta juga tahu persis kalau bokek itu sungguh tidak enak. Tidak percaya? Awalnya saya juga tidak percaya.
Kala itu belasan tahun lalu saat saya masih kuliah namun sudah merasakan indahnya punya uang sendiri. Dengan gaji sejutaan sebagai guru bantu TK berbahasa asing, rasanya jumlah tersebut sudah luar biasa besar.
Maklum, sebagai perawan ‘tingting’ yang masih ‘nebeng’ dengan orang tua jumlah segitu masih lebih dari cukup untuk membiayai operasional ‘ngantor’ dan kuliah, sedikit kekuyuran di pusat perbelanjaan, dan lain-lain yang biasa dilakukan anak muda. Gaji sebesar itu saja kadang saya masih meminta subsidi dari orang tua.
Saya pun lulus kuliah, dengan ijazah sarjana maka saya pun berpindah kerja untuk penghasilan yang lebih bagus. Kebetulan saya berkantor di sebuah perusahaan bonafid. Meski perusahaan nasional, namun pegawainya terkenal makmur.
Singkat cerita, karena saya kebetulan masuk di divisi ekslusif yang isinya cuma seorang GM setengah bule, 2 manajer, dan saya sebagai anak bawang yang merangkap admin. Maka hubungan kami sangat akrab. Kami terbiasa makan siang bareng semeja dengan sang bos.
Kalau tanggal muda biasanya kami keluyuran di mal. Sedang saat tanggal tua, kami hanya memesan makanan melalui office boy (pelayan kantor) dan makan bersama di meja rapat di ruangan kami. Yang saya ingat saat tanggal tua, bos saya tak jarang memesan menu sangat sederhana berlauk tempe orek. Dia hanya tersenyum pahit mengakui, “Gue lagi bokek nih”. Waduh bisa bokek juga?
Padahal di kantor saya 10 tahun lalu, seorang lulusan baru S1 bisa mengantongi paling tidak 5 juta rupiah setiap bulannya. Jadi bisa dibayangkan berapa gaji seorang jebolan S2 luar negeri berpangkat General Manager alias GM.
Lain kali saya bergaul dengan salah seorang duta besar (dubes) negara di Asia Selatan. Saat tanggal tua, Pak Dubes pun memilih membawa bekal makanan dari rumah ketimbang makan di resto bintang lima dengan alasan sedang bokek. Waduh… padahal kala itu paling tidak seorang dubes bisa mengantongi paling tidak 100 juta per bulan belum tunjangan lainnya. Loh, lantas kenapa bisa bokek?
Tunggu dulu, jangan Anda buru-buru menghakimi mereka yang mengaku bokek pada tanggal tua padahal bergaji besar adalah para pemboros yang tidak mensyukuri nikmat. Anda bisa mengatakan hal tersebut karena menggunakan kacamata Anda saat ini, yang belum mampu seperti mereka.
Asal tahu saja, pengeluaran meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan. Bukan hanya karena gengsi, namun karena memang level kebutuhan mereka berbeda.
Mari saya ceritakan sebuah contoh kasus berdasar kisah nyata. Kali ini saya mau ambil contoh salah seorang mitra kerja saya yang amat saya kenal. Gajinya sebagai kepala keluarga berusia 37 tahun sekitar 25 juta-an. Dia punya seorang istri dan dua anak balita. Gaji tersebut terbilang tidak besar di Jakarta.
Setiap harinya teman saya yang tergolong eksekutif muda ini melaju dari rumahnya di Bogor menuju kantornya di bilangan Kuningan Jakarta. Seringnya dia menyetir mobilnya sendiri, namun saat tanggal tua dia memilih naik kereta commuter line untuk menghemat pengeluaran. Sekali membawa mobil pulang pergi Jakarta, paling tidak dia mesti menyiapkan uang Rp 200.000 termasuk tol. Sedangkan kalau naik kereta hanya cukup membayar Rp 20.000 pulang pergi.
Kalau ada pertanyaan kenapa tidak naik kereta setiap hari? Bisa dibayangkan pekerjaan macam apa yang dibayar 25 juta per bulan? Pasti bukan office boy bukan? Tentunya itu jenis pekerjaan profesional dimana penampilan juga menjadi penilaian. Setidaknya tidak bau ketek!
Pulang pergi naik kereta commuter line yang penuh sesak saat jam sibuk sunggu beresiko membuat Anda yang sudah mandi menjadi bau ketek. Dan tentu saja teman saya tidak mau beresiko bau ketek setiap hari apalagi saat harus meeting pagi dengan para bos.
Mari kita hitung ongkos rata-rata naik mobil pribadi dan kereta sebulannya Rp 3 juta. Belum termasuk ongkos makan siang dia dan biaya ngopi. Seringnya sih teman saya membawa ransum buatan istri tercinta. Tetapi dia tak bisa menolak kalau teman-temannya mengajak ngopi bareng.
Dimanakah para eksekutif muda kota metropolitan pergi ‘ngopi’? Tentu ke kedai kopi bonafid macam Starbuck, Coffee bean, dan lainnya yang sekali ngopi butuh paling tidak Rp 44 ribu.
Para eksekutif muda pasti punya beberapa gadget yang harus dibiayai. Berlangganan pulsa ponsel minimal Rp 500 ribu per bulan, pulsa internet Rp 200 ribu, berlangganan TV kabel Rp 500 ribu hingga pusat kebugaran berharga hampir sejuta sebulan.
Belum lagi cicilan rumah. Sebagai gambaran, berapa harga cicilan rumah di Jakarta. Rumah dua lantai berukuran tak lebih dari 82 meter persegi di komplek rumah saya, cicilannya minimal Rp 6 juta per bulan. Belum lagi cicilan motor atau mobil yang paling sedikit Rp 2 juta per bulan. Tagihan listrik yang bisa Rp 1 juta per bulan, uang keamanan rumah yang Rp 500 ribu per bulan, belum lagi utang lainnya.
Belum biaya hidup sehari-hari, anggaran rekreasi, beli baju dan lain-lain. Apalagi kalau si anak sudah sekolah. Sebagai gambaran harga biaya sekolah TK per bulan Rp 2,5 juta di Jakarta bukan nominal yang ‘wah’… itu biasa saja. Banyak loh sekolah internasional yang per bulannya belasan juta untuk TK.
Kalau saya teruskan maka Anda yang jarang melihat uang puluhan juta dalam sebulan akan ‘semaput’. Yes… inilah kenyataan pahit hidup kaum urban di Jakarta. Catat ya! Kaum urban bukan hanya sekedar warga Jakarta yang tidak tahu kalau harga secangkir kopi di kedai gaul itu Rp 44 ribu. Mungkin tulisan ini tak akan valid untuk mereka.
Jadi jangan heran kalau mereka yang Anda anggap tajir juga mengaku bokek di tanggal tua. Juga jangan buru-buru menganggap mereka pelit kalau mereka tidak bisa meminjami kamu uang saat tanggal tua. Boleh jadi mereka benar-benar bokek hingga tidak ada uang sepeserpun kecuali kartu kredit!
Apa mereka tidak punya tabungan? Punya! Orang kaya terbiasa menghabiskan gajinya untuk investasi. Sayangnya tabungan mereka tidak seperti kebanyakan orang yang ada ATM-nya. Kalau ‘kepepet’ tinggal gesek dan dana segar pun mengalir. Tidak!
Orang kaya biasa menyimpan uang dalam bentuk investasi, tabungan berjangka yang uangnya tidak bisa dicairkan sewaktu-waktu, emas, danareksa, asuransi, dan lain-lain. Jadi uang tunai mereka pun terbatas tiap bulannya setelah dipotong investasi dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Inti dari tulisan ini adalah jangan pernah berpikir kalau semakin banyak uang yang Anda dapat akan semakin membuat bahagia dan terbebas dari bokek. Syukuri saja nikmat Anda hari ini dan berhenti suuzhon kepada mereka yang kebetulan dibilang tajir.
Kebanyakan mereka yang bergaji besar dahulunya juga pernah prihatin sama seperti Anda. Meskipun bergaji berpuluh kali lipat dari Anda bukan berarti mereka tidak pernah merasakan bokek. Kecuali mereka yang sudah dikutuk kaya tujuh turunan.
Selamat merayakan ‘Hari Bokek Nasional’ bagi Anda para pekerja. Tidak perlu merayakannya secara megah cukuplah dengan mengetatkan ikat pinggang sampai hari gajian datang. Selamat berjuang kawan!
Maaf saya tidak bisa bantu. Sayapun bokek, kawan!
Salam bokek!