Jakartakita.com – Jakarta tak hanya memiliki Kota Tua sebagai peninggalan Bangsa Eropa, tetapi juga Kampung Tugu.Namun, sayangnya hingga saat ini tidak banyak orang yang mengetahui keberadaan Kampung Tugu di Jakarta Utara.
Bila Kota Tua merupakan peninggalan sejarah Belanda, Kampung Tugu menjadi bukti Portugis pernah singgah di Jakarta. Portugis pernah masuk ke Sunda Kelapa pada tahun 1522 untuk berdagang dan mendiami Batavia yang merupakan cikal bakal Kota Jakarta.
Namun, Kampung Tugu baru muncul pada tahun 1661 dan sekarang dihuni sebagian besar orang-orang keturunan Portugis yang hijrah dari Maluku. Kini, beberapa peninggalan sejarah dari Portugis bisa menjadi daya tarik wisata di Kampung Tugu, seperti Gereja Tugu dan Makam.
Konon keberadaan Kampung Tugu sudah ada sejak zaman prasejarah. Hal ini dibuktikan dari hasil penggalian arkeologi yang dilakukan oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta bekerja sama dengan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1973. Adapun hasil penggalian arkeologi tersebut berupa pecahan-pecahan gerabah lokal (kreweng) dan manik-manik yang berasal dari jaman bercocok tanam atau perundagian (Neolitikum).
Kemudian nama Tugu muncul kembali dalam lembaran sejarah Indonesia sekitar abad ke-5 Masehi masa raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara yang dibuktikan dengan sebuah prasasti yang isinya menceritakan tentang pembuatan saluran air untuk irigasi sepanjang 15 km dalam waktu 22 hari serta menghadiahkan 1000 ekor sapi kepada kaum Brahmana.
Setelah itu nama Tugu tidak terdengar lagi dan baru pada abad ke-17 setelah kampung Tugu oleh Pemerintah Belanda dijadikan tempat pemukiman untuk orang-orang Portugis yang menjadi tawanan Belanda. Pada tahun 1648 Malaka yang merupakan daerah kekuasaan bangsa Portugis jatuh ke tangan Belanda. Tentara bangsa Portugis yang berasal dari Goa, Bengal, Malabar, dan daerah-daerah jajahan Portugis lainnya di India dijadikan tawanan perang Belanda dibawa ke Indonesia yaitu ke Kampung Tugu. Mereka terkenal sebagai tentara yang berani dan ahli perang. Untuk kepentingan beribadah mereka mendirikan sebuah gereja yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan.
Untuk menelusuri asal-usul nama Tugu ada beberapa pendapat yang satu dengan lainnya berbeda. Pertama, ada sementara orang yang mengatakan bahwa nama Tugu diambil dari tugu sebagai tanda batas tempat atau wilayah yang waktu itu banyak terdapat di daerah ini. Tetapi, ada pula yang berpendapat bahwa tugu diambil dari kata Por-tugu-ese (Portugis).
Adapun pendapat yang ketiga menyebutkan lebih mendekati pada latar belakang sejarah, yakni nama Tugu ada kaitannya dengan prasasti (batu bertulis) yang ditemukan di daerah ini, yaitu batu yang berbentuk bulat telur bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti ini berasal dari abad ke-5 Masehi dan merupakan salah satu dari tujuh prasasti raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara. Nama Tugu sekarang diabadikan untuk nama kelurahan, tetapi dahulu nama Tugu dipergunakan untuk menyebutkan nama tempat, misalnya Kampung Tugu Batu Tumbuh, Kampung Tugu Rengas, Kampung Tugu Tipar, Kampung Tugu Semper, dan Kampung Tugu Kristen.
Musik keroncong dan Kampung Tugu tidak bisa dipisahkan. Musik keroncong yang merupakan perpaduan dari unsur-unsur Barat dan unsur-unsur Timur. Unsur-unsur Timur yang dimaksud ialah kebudayaan Arab yang saat itu bangsa Arab menguasai semenanjung Iberia. Beberapa unsur dari Timur tersebut ialah; lagu Moresco, alat musik Asmboarijin atau rebana yang dipakai oleh keroncong di daerah Tugu. Sedangkan peralatan lainnya tergolong pada unsur Barat, termasuk pada irama lagu-lagu.
Kapan munculnya musik keroncong di daerah Tugu ialah bersamaan dengan datangnya orang-orang Portugis di daerah Tugu pada abad ke 17 masehi. Lagu keroncong yang pertama di daerah Tugu bahkan di Indonesia ialah keroncong Moressco. Keroncong Tugu mula-mula hanya dimainkan orang-orang dengan gitar kecil yang namanya gitar Frorenga 4 dawai, gitar Monica 3 dawai, gitar Jitera 5 dawai.
Dalam perkembangan selanjutnya, baik alat musik maupun jumlah pemain alat musik menjadi bertambah, yakni dengan dipakainya alat musik lain seperti suling, gendang rebana, mandolin, cello kempul, biola, triangle (besi segi tiga). Lagu-lagunya yang semula hanya 4 buah, Moresco, Nina Bobo,Founga, dan Kafrinyo bertambah dengan Irama Stambul dan Irama Melayu. Alat-alat keroncong dibuat sendiri di daerah Tugu, bahan kayu diambil dari kayu wares dan kayu kembang kenanga. Alat tersebut selalu berdawai 5 yang terbuat dari benang kasur (senar) yang disebut bonding. Kayunya tidak diplitur atau dicat dan tidak dilem, tetapi dibobok, sehingga merupakan satu kesatuan. Pakaian pemainnya selalu memakai baju pangsi warna putih, celana batik model piyama dan syal melingkar dileher, memakai pet hitam ala Portugis.