Jakartakita.com – Peneliti Pusat Penelitian Geologi Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI), Rachmat Fajar Lubis mengatakan, kondisi penurunan muka air tanah di Jakarta sudah kritis.
Namun, diakuinya tidak mungkin menghilangkan total penggunaan air tanah sama sekali oleh masyarakat maupun industri.
“Kalau biaya produksi air sumur lebih rendah dari pada beli, pastinya masyarakat akan memilih air sumur. Kita perkirakan yang terdata menggunakan air tanah itu baru sekitar 60%, sedangkan selebihnya ilegal,” jelasnya, di Jakarta, Kamis (7/5/2015).
Dijelaskan, penurunan permukaan tanah menjadi ancaman serius bagi warga DKI Jakarta menyusul tingginya penggunaan air bawah tanah melalui sumur bor dan pantek di Ibu Kota.
Data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta menyebutkan, bahwa pada 2014, tercatat sebanyak 8.849.788 m3 air tanah digunakan dari sebanyak 4.473 titik sumur di Ibu Kota, dan mengalami peningkatan dari 2011 sebanyak 7.209.189 m3 dari 4.231 titik sumur.
Hal tersebut, membawa dampak pada cepatnya penurunan muka tanah di DKI Jakarta, terutama di daerah Jakarta Utara, seperti hasil pemetaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 2011-2012 di 15 titik, penurunan muka tanah di Jakarta Jakarta Utara, lebih cepat dibanding daerah lain.
Sejumlah lokasi yang penurunan muka tanahnya cukup tinggi adalah, seperti di daerah Kecamatan Penjaringan, mulai dari Pejagalan hingga Pantai Indah Kapuk. Penurunan terbesar mencapai 9,89 cm di daerah PIK dan 9,54 cm di Jl Marina Indah, Pluit.