Jakartakita.com – Staf Pengajar Universitas Sam Ratulangi – Manado, yang juga pengamat ekonomi, Agus Tony Poputra, menyatakan bahwa pelemahan Rupiah beberapa bulan terakhir perlu diseriusi.
Sejak 15 Juli 2013, kurs Rupiah terhadap US Dollar tidak pernah kembali keangka di bawah Rp 10.000/USD. Bahkan hingga berita ini diturunkan, Rupiah telah menembus angka Rp 13.000/USD.
“Bukan tidak mungkin situasi tahun 1998 terulang kembali jika Bank Indonesia dan pemerintah tidak melakukan kebijakan yang substansial untuk mencegahnya,” katanya, dalam siaran pers yang diterima Jakartakita.com, baru-baru ini.
Lebih lanjut dijelaskan, persiapan pemerintah untuk membentuk Crisis Management Protocol (CMP) dapat saja meredam penurunan rupiah lebih lanjut lewat jalur psikologis. Namun, efektivitasnya tergantung pada persepsi dan respons pelaku pasar uang dan efektvitasnya tidak menetap.
Agus menilai, saat ini ada pendapat yang menyebutkan bahwa pelemahan Rupiah memberi keuntungan bagi Indonesia karena dapat meningkatkan ekspor.
Menurutnya, pendapat itu benar, hanya jika ekspor Indonesia jauh melampaui impor serta ekspor tersebut berupa barang jadi maupun barang intermediate.
“Namun fakta menunjukan impor Indonesia telah melewati ekspor pada beberapa tahun terakhir. Selain itu, ekspor Indonesia kebanyakan berupa komoditas sehingga harganya murah dan sangat fluktuatif. Dengan demikian, besarnya penerimaan ekspor komoditas tidak semata persoalan kurs tetapi juga volatilitas harga,” jelas dia.
Menurutnya, pendapat yang menjustifikasi pelemahan Rupiah tersebut kurang mempertimbangkan kepentingan konsumen. Pelemahan Rupiah akan mendorong kenaikan inflasi lewat sisi biaya (cost push inflation) mengingat barang dan jasa impor sudah mendominasi pasar Indonesia.
Juga, kebanyakan bahan baku di impor. Inflasi lewat sisi biaya juga terjadi dari peningkatan beban keuangan produsen yang memiliki utang luar negeri yang ditranslasikan ke harga jual produk yang lebih tinggi. Ini berdampak pada tergerusnya daya beli konsumen.
“Stabilisasi Rupiah yang hakiki tidak dapat diselesaikan lewat kebijakan yang bersifat responsif. Kebijakan tersebut umumnya hanya memberi solusi jangka pendek,” ujar dia.
“Mengingat pelemahan nilai Rupiah lebih dominan disebabkan oleh faktor-faktor fundamental, maka penangannya juga harus menyentuh faktor-faktor fundamental tersebut,” tandasnya.