Bank Indonesia (BI) tetap mempertahankan BI rate pada level 7,5%. Hal ini bukanlah kabar gembira bagi kalangan dunia usaha. Mereka menginginkan penurunan suku bunga acuan yang relatif tinggi tersebut agar mendorong perbankan menurunkan suku bunga kredit.
Diharapkan penurunan bunga kredit dapat mengurangi beban perusahaan yang terkena imbas pelemahan Rupiah. Dari sisi perbankan, mempertahankan suku bunga kredit yang tinggi juga bukan pilihan yang menyenangkan. Semakin tinggi suku bunga kredit, semakin berpotensi terjadinya kredit macet.
Kebijakan ini juga akan menimbulkan masalah bila bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikan suku bunga acuannya. Pada situasi ini, BI secara psikologis akan terdorong untuk menaikan BI rate untuk mencegah aliran dana keluar. Akibatnya, dunia usaha akan lebih tertekan dengan suku bunga yang tinggi. Harapan agar dunia usaha menjadi perangsang untuk mengeluarkan Indonesia dari resesi ekonomi akan semakin kecil.
Alasan utama BI mempertahankan BI Rate yang tinggi sebagaimana dilansir media massa adalah untuk menjaga inflasi dan rupiah di tengah kecenderungan ekonomi global yang bias. Juga untuk menjaga stabilitas makroekonomi, di tengah berlanjutnya ketidakpastian ekonomi global, serta menjaga pertumbuhan ekonomi melalui implementasi kebijakan makroprudensial yang akomodatif.
Namun, pada kondisi resesi yang dihadapi Indonesia saat ini, alasan tersebut saling bertentangan. Mempertahankan BI rate yang tinggi untuk mengendalikan inflasi justru mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Penggunaan BI rate untuk mengendalikan inflasi tidak selalu tepat untuk semua situasi. Apabila inflasi terjadi pada sisi Permintaan dimana peningkatan permintaan melebihi Penawaran (excess demand), maka kebijakan menaikan ataupun mempertahankan BI rate pada tingkat relatif tinggi adalah kebijakan yang tepat. Walaupun terjadi penurunan output nasional dari kebijakan tersebut, namun masih lebih tinggi dari posisi output sebelumnya.
Di sisi lain, apabila inflasi terjadi pada sisi Penawaran karena tekanan biaya (cost push inflation), maka kebijakan BI tersebut menciptakan dampak yang tidak diinginkan. BI rate yang tinggi akan menurunkan output nasional lebih rendah dari posisi keseimbangan awal meskipun dapat mengendalikan inflasi.
Fakta yang ada memperlihatkan inflasi Indonesia saat ini lebih dipicu dari sisi Penawaran. Kenaikan harga BBM “subsidi” beberapa bulan lalu serta pelemahan Rupiah telah menyebabkan kenaikan beban produsen yang berujung pada penurunan Penawaran.
Oleh sebab itu, kebijakan BI mempertahankan BI rate yang tinggi kontraproduktif dengan upaya membantu Indonesia keluar dari kondisi resesi. Kebijakan ini justru mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Pada saat inflasi didominasi oleh faktor-faktor di sisi Penawaran, pemerintah yang seharusnya lebih banyak berperan untuk menurunkan ekonomi berbiaya tinggi.
Pertama, perampingan birokrasi untuk mengurangi titik-titik pungutan liar (pungli) serta pengawasan perilaku aparat secara lebih baik. Birokrasi pada dasarnya baik karena merupakan sarana pengendalian internal. Akan tetapi bila berlebihan justru menghambat dan menciptakan celah-celah pungutan liar.
Kedua, pembenahan simpul-simpul distribusi barang terutama terkait dengan transportasi dan kegiatan bongkar muatan. Beban transportasi Indonesia terutama antar pulau saat ini relatif tinggi. Ada yang mengklaim bahwa transportasi memberi kontribusi sekitar 27% harga barang. Persoalan transportasi ini perlu diurai dan dibuatkan solusi yang komprehensif.
Ketiga, pembenahan produksi tanaman pangan yang selama ini menjadi penyebab inflasi musiman yang tinggi. Pembenahan tersebut menyangkut perataan produksi antar waktu dan peningkatan efisiensi produksi, lewat penggunaan bibit yang baik, penggunaan teknologi yang lebih maju, penyuluhan yang intensif, pencegahan hama penyakit, serta pengendalian banjir pada kawasan pertanian.
Kondisi Indonesia saat ini membutuhkan perhatian yang berspektrum luas. Pada titik-titik tertentu terdapat pertentangan antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain.
Ini membutuhkan keseimbangan antar kebijakan dan antar berbagai lembaga negara agar diperoleh hasil optimal bukannya saling menihilkan ataupun merugikan***
Penulis : Agus Tony Poputra, Ekonom FEB Universitas Sam Ratulangi Manado