Sepanjang hidup pasti kita pernah merasa ‘terikat’ secara emosional dengan seseorang namun karena sesuatu sebab ikatan tersebut harus kandas karena takdir. Entah perpisahan karena perbedaan prinsip, pindah tempat atau kepergian untuk selama-lamanya karena kematian.
Ya perpisahan dengan seseorang yang pernah terikat secara emosional pasti meninggalkan cerita. Ada yang langsung legowo melepas kepergian ada yang terpasung bertahun-tahun demi mengikhlaskan kenyataan pahit bahwa mereka harus melupakan seseorang yang pernah menorehkan memori indah. Seburuk apapun penyebab perpisahan, memori indah yang pernah terjadi sebelumnya tak akan mudah untuk dilupakan.
Kenangan akan si mantan seringkali berkelebat tanpa permisi di alam pikiran. Padahal mungkin mereka sudah punya pasangan baru.
Beberapa malah benar-benar gagal move on. Tak sanggup melangkah lebih jauh dari kehidupan si mantan. Jangankan memulai hubungan baru dengan cinta yang baru, mengenyahkan bayangan sang mantan dalam setiap langkah saja susah.
Beruntung bagi mereka yang menikah dengan seseorang yang merupakan cinta pertamanya. Tetapi tentu saja tidak sedikit orang yang akhirnya menikah dengan cinta kesekian setelah beberapa kali putus cinta atau bercerai dari pasangannya, namun mereka gagal ‘move on’.
Sejatinya dalam sebuah hubungan percintaan yang kandas, pasti ada lebih dari dua orang yang tersakiti. Pada hubungan serius, keluarga dan sahabat pun menjadi korban.
Beberapa tahun silam, salah seorang adik lelaki saya menjalin hubungan dengan seorang gadis sebaya yang merupakan teman kampusnya. Hubungan persahabatan yang menjelma menjadi hubungan cinta dan kemudian permusuhan.
Terus terang saya menyukai si gadis lincah yang kebetulan memiliki rasi bintang yang sama dengan saya ‘pisces’. Kami selalu punya bahan obrolan seru yang membuat kami klop.
Si gadis supel ini seperti punya banyak energi untuk membahagiakan orang-orang di sekitarnya walau dengan hanya membuat mereka tertawa. Lambat laun saya malah jadi jatuh hati dengan si gadis. Saya akui, si gadis bahkan hampir selalu menemani saya setiap saya kesusahan.
Saya ingat persis ketika saya berbaring tak berdaya pasca kecelakaan, dia ada di sana menemani saya yang kesepian dan rapuh. Dia juga ada saat saya berupaya bangkit dari keterpurukan. Dia pula yang menemani saya di rumah sakit sepanjang kehamilan saya saat orang rumah sibuk bekerja. Dia pula yang membuat saya tertawa walau saya sedang teramat kesakitan jelang persalinan. Dan dia pula yang setia menemani saat saya pertama kali menggendong si mungil Sydney.
Dan percaya atau tidak, dia juga yang bermalam-malam menginap di rumah saya saat sang suami sedang tugas di medan laga. Dia membantu saya menggantikan popok, memasak dan lainnya. Dia… Dia…
Ah saya pernah berjanji bakal mengajaknya jalan-jalan saat saya sembuh. Karena selama saya tak berdaya dia yang menemani saya. Saya bahkan pernah berharap kalau kelak dia akan menjadi anggota dari keluarga kami. Ayah, ibu, adik, bahkan sepupu pun mengenalnya dengan baik. Mungkin saya lebih mengenalnya ketimbang istri adik pertama saya.
Dan awal 2014 ketika saya merasa sudah cukup luang untuk mengajaknya jalan-jalan, mentraktirnya atau nonton bareng, tiba-tiba dia menjauh. Yah… Hal mengerikan terjadi, hubungan persahabatan yang berubah menjadi cinta akhirnya berakhir tragis. Adik kedua saya mendeklarasikan kalau dirinya sudah memutuskan hubungan dengan si gadis. Saya malah berharap itu hanya bualan semata. Namun sang adik bersikukuh.
Meski saya sedih, saya berusaha tegar untuk bisa menerima si gadis atas nama persahabatan. Saya pun berjanji akan datang ke pernikahannya kelak. Hingga akhirnya saya tahu sang gadis menjalin hubungan cinta dengan sahabat adik saya. Dang!!! Saya marah semarah-marahnya tanpa mau tahu apa alasannya.
Hubungan pertemanan kami jadi hambar. Aneh rasanya bertegur sapa dengannya setelah semuanya terjadi.
Sudah lebih dari setahun namun rasanya saya belum sanggup move on dari mantan kekasih adik saya. Bayangan dia sering berkelebat kala saya berinteraksi dengan adik ipar. Janggal!