Karena Rumput Tetangga Selalu Terlihat Lebih Hijau

Dalam hitungan jam, masa libur lebaran akan segera berakhir. Para pemudik pun sudah kembali ke habitatnya, karena mulai besok, Senin, para pekerja kantoran kembali bekerja. Begitupun para pelajar dan guru kembali ke sekolah. Dan semuanya akan kembali seperti sediakala.

Tentu saja, memulai hari pertama bekerja di awal pekan setelah libur panjang tidak semudah bayangan. Apalagi jika kita baru saja kembali dari mudik. Bayangan suka cita berlebaran bersama sanak-famili di  kampung halaman, rasanya tidak mau segera berganti dengan setumpuk deadline dan ritual macet setiap berangkat dan pulang kantor.

Tak hanya bagi para pemudik, sanak famili yang dikunjungi pun tak mudah memulai hari pertama kembali beraktifitas setelah hampir dua minggu berkumpul bersama sanak famili bersuka cita merayakan lebaran. Rasanya baru kemarin menanti keluarga yang dirantau untuk pulang, kemudian satu persatu keluarga kembali ke tanah rantau. Rumah yang semula ramai oleh tawa, tangis, celoteh sanak famili yang berkumpul, tiba-tiba kembali sepi. Kesepian yang mungkin baru akan berujung pada lebaran tahun depan.

Tak dapat dipungkiri, momen lebaran yang penuh suka cita seringkali dikotori oleh fenomena ‘sawang-sinawang’ atau yang dalam bahasa populernya menganggap “rumput tetangga jauh lebih hijau dari rumput di halaman sendiri”. Kebanyakan orang desa, menganggap para pemudik adalah mereka yang telah sukses di rantau. Mereka menganggap kehidupan perantau khususnya yang tinggal di kota besar, jauh lebih beruntung dari mereka yang tinggal di desa.

Apalagi saat mengetahui, para perantau kebetulan mudik menggunakan mobil mewah atau pesawat, pakaian yang gaya, gadget terbaru, dan lain sebagainya. Di benak mereka, hidup di kota besar itu jaminan sukses dan bahagia. Makanya tak heran banyak orang desa yang semangat empat lima berbondong-bondong hijrah ke kota besar demi mencari peruntungan yang sama, siapa tahu sukses dan suatu hari bisa mudik dengan bangga.

Namun, benarkah mereka yang tinggal di kota besar jauh lebih bahagia dari mereka yang tinggal di desa?

Saya yakin, kalau mereka diberi tahu bagaimana caranya orang kota bisa terlihat sukses dan bahagia saat mudik, mereka akan bergidik ngeri.

Gaji belasan hingga puluhan juta per bulan bagi orang kota adalah bukan hal yang aneh dan terlalu mengada-ada. Tetapi lihat bagaimana mereka bisa mendapatkannya!

Ketika kebanyakan orang desa masih terlelap tidur, orang kota sudah bangun karena harus mengejar kereta Commuter Line Subuh atau menyetir mobil menuju kantor. Terutama bagi mereka para commuter dari Bogor yang bekerja di Jakarta.

Saat kebanyakan orang desa sudah bisa ongkang-ongkang kaki sambil menyeruput teh atau kopi menjelang senja. Para orang kota masih sibuk di kantor. Saat malam kian larut, orang kota masih di perjalanan menuju rumah, ditemani macet.

Lalu bagaimana dengan orang kota yang bukan pekerja kantoran? Percayalah, meskipun mereka tampak santai karena sering di rumah. Tetapi laptop mereka hampir tak pernah mati. Saat orang desa sudah terlelap, mereka para pekerja profesional masih sibuk mengetik. Begitupun mereka terbiasa memulai hari sepagi mungkin berteman laptop. Bahkan saat ‘nge-mall’ atau bepergian jauh, laptop dan koneksi internet adalah hal yang tak terpisahkan. Setiap saat otak para pekerja profesional dipaksa untuk terus kreatif menghasilkan ide brilian, kalau ingin dapur mereka tetap ‘ngebul’.

Gadget canggih bagi kebanyakan orang kota bukan sekedar untuk ‘gaya-gayaan’. Karena di dalam gadget-nya terinstal beragam aplikasi canggih yang menunjang pekerjaannya untuk terus online. Ponsel pintar bukan hanya untuk ‘pamer’ dan foto ‘selfie’, tetapi untuk membuat tulisan panjang dengan ratusan ribu karakter atau mengirim laporan penting.

Meski kebanyakan orang kota yang mudik memilih membawa kendaraan pribadi untuk alasan kenyamanan. Tetapi tahukah para orang desa kalau di hari kerja para orang kota lebih memilih berdesakan di kereta, motor atau bus Transjakarta agar bisa sampai kantor tanpa harus bermacet-macet ria dan tak perlu kehabisan tenaga karena capek.

Orang kota yang memilih naik pesawat untuk mudik, tentu saja bukan karena mau pamer atau kebanyakan duit. Lagi-lagi dengan alasan kenyamanan dan efisiensi waktu, mereka rela membayar mahal demi tiket mudik. Itupun biaya membeli tiket hasil tabungan berbulan-bulan.

Sungguh tidak mudah menjadi orang kota. Meskipun tak sedikit dari  mereka bergaji fantastis yang hampir mustahil untuk dijangkau oleh orang desa. Namun, pengeluaran orang kota juga tidak kalah fantastis.

Mari saya ceritakan sebuah contoh kasus berdasar kisah nyata. Kali ini saya mau ambil contoh salah seorang mitra kerja saya yang amat saya kenal. Gajinya sebagai kepala keluarga berusia 37 tahun sekitar 25 juta-an. Dia punya seorang istri dan dua anak balita. Gaji tersebut terbilang tidak besar di Jakarta.

Setiap harinya teman saya yang tergolong eksekutif muda ini melaju dari rumahnya di Bogor menuju kantornya di bilangan Kuningan Jakarta. Seringnya dia menyetir mobilnya sendiri, namun saat tanggal tua dia memilih naik kereta commuter line untuk menghemat pengeluaran. Sekali membawa mobil pulang pergi Jakarta, paling tidak dia mesti menyiapkan uang Rp 200.000 termasuk tol. Sedangkan kalau naik kereta hanya cukup membayar Rp 20.000 pulang pergi.

Kalau ada pertanyaan kenapa tidak naik kereta setiap hari? Bisa dibayangkan pekerjaan macam apa yang dibayar 25 juta per bulan? Pasti bukan office boy bukan? Tentunya itu jenis pekerjaan profesional dimana penampilan juga menjadi penilaian. Setidaknya tidak bau ketek!

Pulang pergi naik kereta commuter line yang penuh sesak saat jam sibuk sunggu beresiko membuat Anda yang sudah mandi menjadi bau ketek. Dan tentu saja teman saya tidak mau beresiko bau ketek setiap hari apalagi saat harus meeting pagi dengan para bos.

Mari kita hitung ongkos rata-rata naik mobil pribadi dan kereta sebulannya Rp 3 juta. Belum termasuk ongkos makan siang dia dan biaya ngopi. Seringnya sih teman saya membawa ransum buatan istri tercinta. Tetapi dia tak bisa menolak kalau teman-temannya mengajak ngopi bareng.

Dimanakah para eksekutif muda kota metropolitan pergi ‘ngopi’? Tentu ke kedai kopi bonafid macam Starbuck, Coffee bean, dan lainnya yang sekali ngopi butuh paling tidak Rp 44 ribu.

Para eksekutif muda pasti punya beberapa gadget yang harus dibiayai. Berlangganan pulsa ponsel minimal Rp 500 ribu per bulan, pulsa internet Rp 200 ribu, berlangganan TV kabel Rp 500 ribu hingga pusat kebugaran berharga hampir sejuta sebulan.

Belum lagi cicilan rumah. Sebagai gambaran, berapa harga cicilan rumah di Jakarta. Rumah dua lantai berukuran tak lebih dari 82 meter persegi di komplek rumah saya, cicilannya minimal Rp 6 juta per bulan. Belum lagi cicilan motor atau mobil yang paling sedikit Rp 2 juta per bulan. Tagihan listrik yang bisa Rp 1 juta per bulan, uang keamanan rumah yang Rp 500 ribu per bulan, belum lagi utang lainnya.

Belum biaya hidup sehari-hari, anggaran rekreasi, beli baju dan lain-lain. Apalagi kalau si anak sudah sekolah. Sebagai gambaran harga biaya sekolah TK per bulan Rp 2,5 juta di Jakarta bukan nominal yang ‘wah’… itu biasa saja. Banyak loh sekolah internasional yang per bulannya belasan juta untuk TK.

Kalau saya teruskan maka Anda yang jarang melihat uang puluhan juta dalam sebulan akan ‘semaput’. Yes… inilah kenyataan pahit hidup kaum urban di Jakarta. Catat ya! Kaum urban bukan hanya sekedar warga Jakarta yang tidak tahu kalau harga secangkir kopi di kedai gaul itu Rp 44 ribu. Mungkin tulisan ini tak akan valid untuk mereka.

Sungguh tak mudah menjadi orang kota. Mungkin kalau boleh memilih, banyak orang kota yang ogah kembali ke kota. Ogah bangun sangat pagi dan pulang larut demi mendapatkan bayaran, belum termasuk waktu mereka di luar jam kantor yang harus tergadai demi sebuah loyalitas pada pekerjaannya.

Intinya, tak perlu iri melihat rumput tetangga lebih hijau. Kita tak bisa tahu apa yang sebenarnya di kehidupan orang lain. Yang utama adalah bersyukur terhadap pemberian Allah. Yakin bahwa, Allah telah menciptakan manusia sesuai porsi dan perannya di dunia. Mungkin peran kita yang terlihat tak berharga di mata manusia mempunyai derajat yang tinggi di sisiNya, kita tak akan pernah tahu itu. Dan, bukankah Allah telah berjanji di surat cintaNya akan menambah nikmat hambaNya yang bersyukur dengan kenikmatan yang berlipat- lipat pula.

Mudikrumput tetangga terlihat lebih hijausawang sinawang
Comments (0)
Add Comment