Jakartakita.com – Pola hidup masyarakat, khususnya yang tinggal di perkotaan di Indonesia saat ini seolah tidak peduli dari mana asal muasal makanan mereka, bahkan seiring berkembangnya teknologi, banyak generasi muda sekarang tidak tahu apa saja produk-produk agrikultur lokal di Indonesia.
Urbanisasi penduduk desa ke kota menjadi faktor utama jatuhnya kejayaan pangan lokal. Kebanyakan penduduk desa berpikir bahwa sektor kehidupan yang mereka garap sebagai penghasilan kehidupan, yaitu agrikultur, tidak lagi menguntungkan dan tidak dibutuhkan oleh masyarakat kota. Hal ini menjadi faktor utama didirikannya social entrepreneur “Agritektur”.
Social entrepreneur sendiri merupakan kegiatan usaha yang mendapatkan profit dari pemecahan masalah-masalah sosial di sekitar. Fokusnya bukan hanya untuk mencari profit tetapi juga memberikan implikasi yang positif juga terhadap sekitar dari apa yang menjadi kegiatan usahanya.
Agritektur merupakan kegiatan usaha yang dibangun pada tahun 2012. Apa yang dilakukan oleh Agritektur adalah, menghubungkan para pelaku agrikultur dengan konsumen dengan basis teknologi dan desain, dengan tujuan utama membangkitkan kembali kejayaan pangan lokal. Lagi-lagi berasal dari kota kembang, Bandung. Dan pertama kali di ide bisnis ini dibangun oleh Robbi, Adi, Ronaldiaz, Annisa, dan Dwi. Kelimanya adalah pemuda Indonesia kreratif yang peduli dengan dunia agrikultur di Indonesia.
Dengan moto “Think Globally, Eat Locally” Agritektur menciptakan hubungan yang erat antara pelaku agrikultur di pinggiran kota dengan masyarakat kotanya. Untuk mewujudkan hal tersebut, beberapa bentuk lini usaha pun dibentuk, seperti Parappa (Pasar Para Petani), sebuah market ritel yang tidak saja menjual produk-produk pertanian namun juga mendatangkan pelaku agrikulturnya langsung agar masyarakat kota dapat mengenal pelaku agrikultur lebih dekat.
Selanjutnya adalah Camp on Farm, sebuah konsep agrowisata yang mengajak masyarakat kota berlibur dengan mengikuti aktivitas pelaku agrikultur nya. Lalu ada juga Freshbox, layanan berlangganan produk agrikultur langsung dengan pelaku agrikultur. “Lini-lini usaha ini kami kembangkan dengan harapan dapat memberikan gambaran berbeda tentang dunia agrikultur lokal pada konsumen di Indonesia,” Tandas Rendy Ega Pradhana, Head of Marketing Agritektur.
Rendy berharap, lewat adanya Agritektur, petani di desa tidak menjual sawahnya pada pengusaha-pengusaha besar, yang memang saat sekarang ini memang jumlah nya tidak sedikit, sehingga setiap tahun banyak lahan sawah yang terus beralih fungsi. Yang akan berakibat Indonesia akan terus sulit memenuhi kebutuhan pangan sendiri, dan terus melakukan impor. Jangka panjangnya akan menimbulkan potensi polemik tidak hanya secara ekonomi namun juga dari segi politik di Indonesia.
Cara pandang bisnis yang berbeda
Adanya gap diantara pelaku agrikultur dan masyarakat perkotaan merupakan inti dari masalah keterbatasan pangan lokal di Indonesia saat ini. “Agritektur ingin memangkas gap pandangan antara pelaku agrikultur dan masyarakat kota. Dengan harapan, masyarakat bisa peduli dan sadar banyak produk-produk Agrikultur yang bagus di Indonesia. Dan untuk para pelaku Agrikultur, Agritektur selalu mensosialisasikan konsep yang mereka usung ini, demi menyadarkan pelaku seberapa besar potensi market sektor penghasilan mereka di kota-kota besar.” Imbuh Rendy.
Agritektur memasarkan produk – produknya dengan menghadirkan pengalaman yang berbeda, yaitu bersentuhan dengan produk pelaku agrikultur dengan berbagai cara (Parappa, Camp on Farm, Freshbox). Agritektur juga aktif mempromosikan kegiatan mereka via media sosial seperti Facebook, Twitter, instagram, Youtube (@Agritektur), juga rajin berkolaborasi dalam berbagai acara, seperti (A Festival About coffee (Jakarta), AyoeatLocal (Jakarta), Kekeun (Bandung), Bandung Agri Market (bekerja sama dengan Dinas Pertanian), dll.
Pada dasarnya Agritektur juga mengedukasi petani dengan memperlihatkan market produk yang di desain dengan menarik. Disini Agritektur juga mengajak para petani melihat langsung antusias konsumen terhadap produk mereka. Umumnya hal ini memacu para pelaku agrikultur untuk mau berkerja sama dengan Agritektur. Lewat cara ini biasanya para pelaku paham bahwa produk yang mereka hasilkan memiliki nilai jual tinggi bila dibuat lebih menarik. “Melibatkan” adalah kunci edukasi yang dilakukan Agritektur.
Untuk yang bekerja sama dengan Agritektur memang belum begitu banyak. Ada Kelompok tani yang sudah bekerja sama dengan Agritektur seperti Dago Farm Organik, di Desa Ciburial Dago, Bandung. Disitu mereka bekerja sama dengan petani herb dan membantunya dalam memasarkan produk Herbnya. Agritektur juga bekerja sama memasarkan produk sayur petani-petani di Cibodas di Parappa dan Freshbox (Sebagai brandnya). Dari segi Market, Agritektur bekerja sama dengan Dinas Pertanian Kota Bandung, Sushi Tei dan Bakerzin (bertindak sebagai supplier produk), dan yang terbaru dengan Caswell Coffee (Jakarta) untuk pemasaran Herbs.
“Sektor agrikultur merupakan sektor yang sering dianggap remeh. Padahal banyak investor asing yang mulai menanamkan uangnya di Indonesia di sektor ini. Kami di Agritektur yakin, bahwa salah satu masa depan pertanian Indonesia adalah sektor agrikultur, ditambah lagi dengan mulai berkembangnya berbagai macam gaya hidup sehat seperti Raw Food, Clean Food yang sangat memperhatikan bahan-bahan pangan” tambah Rendy.
Untuk tahun mendatang, Agritektur akan berfokus mengembangkan ide dan memperbanyak jaringan petani dan jaringan market. “Kami juga akan membuat semacam kampanye kreatif yang mengajak masyarakat untuk menkonsumsi pangan lokal dan bersiap untuk serbuan barang komiditi pangan impor di tahun 2015.” Tutup Rendy.