Selamat Datang di Era Less Cash Society!

foto: istimewa

Sejarah uang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan ekonomi, yaitu pertukaran barang atau yang biasa disebut perdagangan. Kegiatan pertukaran muncul karena manusia tidak bisa memproduksi sendiri semua barang yang dibutuhkan, terutama pada perekonomian yang sudah maju. Oleh karena itu, manusia berusaha menemukan alat atau barang yang dapat mempermudah kegiatannya, termasuk kegiatan pertukaran.

Kalau di awal perdagangan, manusia hanya saling bertukar barang atau barter. Lambat laun, manusia menemukan konsep alat tukar yang bisa diterima oleh semua kalangan, tanpa harus repot menyiapkan barang yang bisa ditukar kepada si empunya barang yang diinginkan. Dan uang pun berevolusi dari hanya berupa biji cokelat, emas, kertas dan logam bernilai kemudian beragam kartu.

Saya termasuk deretan orang yang telat memanfaatkan kartu-kartu untuk segala transaksi. Walau saya sudah memiliki kartu ATM sejak SMP, kartu kredit sejak 15 tahun lalu. Namun saya hanya sebatas menggunakan kartu ATM untuk menarik tunai, sesekali belanja ritel. Sedang kartu kredit hanya untuk transaksi yang kebetulan menggunakan kartu kredit lebih menguntungkan.

Setahun lalu, saya masih belum tergerak menggunakan kartu elektronik. Saya masih enggan membeli kartu elektronik yang ditawarkan para pramuniaga indomaret. Pikir saya, apa gunanya kartu elektronik tersebut kalau saya masih punya kartu debet untuk bertransaksi belanja. Padahal, beberapa teman saya sudah lama menggunakan kartu Flazz atau e-money untuk berbelanja, bayar parkir di mall atau bayar tol. Dan saya belum.

Baru kemudian, awal tahun 2015 saya mulai menjajal membeli kartu e-money berlogo indomaret, itupun awalnya hanya untuk membayar tiket Transjakarta dan bayar tol. Baru kemudian saya tahu kartu e-money juga bisa digunakan untuk membayar tiket kereta commuter line. Dan kini bus patas Transjabodetabek jurusan Ciputat-Blok M juga sudah menggunakan kartu. Bahkan beberapa taksi sudah mulai menerapkan “cashless”.

Lucunya lagi sejak ada Kartu Jakarta Pintar (KJP), pasar-pasar tradisional pun ikut-ikutan memasang edc untuk membaca kartu ATM Bank DKI yang digunakan sebagai KJP. PKL di beberapa tempat seperti Lenggang Jakarta Monas juga ikut-ikutan menerima kartu sebagai alat pembayaran.

Wow…sepertinya Jakarta benar-benar siap menyongsong less cash society. Saya pun tidak tahu persis mengapa Jakarta masih memilih less cash society ketimbang cashless society seperti yang diterapkan oleh negara-negara maju? Atau mungkin Jakarta masih pesimis kalau uang tunai benar-benar ditiadakan. Karena selain masih terbatasnya fasilitas, akses perbankan juga belum secara merata dimiliki oleh warga Jakarta. Jadi mungkin Jakarta tidak mau muluk-muluk bermimpi. Cukuplah mengurangi peredaran uang tunai di Jakarta.

Dan saya yakin dalam waktu dekat uang tunai tidak terlalu penting menghias dompet. Asalkan rekening bank  terisi banyak saldo uang. Lupa membawa kartu dan ponsel pintal akan sangat mengerikan ketimbang lupa membawa dompet berisi uang.

Saya pikir akan tiba masanya suatu hari nanti, cashless society benar-benar akan terjadi. Bahkan kartu pun tidak lagi menjadi alat tukar. Karena kartu-kartu ajaib akan tergantikan dengan pin-pin rahasia menggunakan finger print atau deteksi retina mata. Siapa tahu?

Semakin modern, orang semakin malas repot membawa barang bawaan yang bejibun, termasuk membawa kartu. Ritel, PKL, stasiun kereta, halte MRT, dan lainnya memiliki alat pendeteksi retina mata atau sidik jari sebagai alat pembayaran.

Selamat datang di era less cash society eh…cash less society!

bcaBNIBRIBrizziE-moneyflazzMandiriTap Cash
Comments (0)
Add Comment