Mungkin Anda familiar dengan pepatah, “Tetangga adalah saudara yang paling dekat”. Namun apakah kita sudah benar-benar meresapi maknanya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari?
Tetangga adalah orang yang paling dekat dengan kita, karena di saat kita sakit atau terkena musibah, merekalah orang terdekat yang bisa menolong. Oleh karena itu, jalinlah hubungan harmonis dengan tetangga, hindari pertikaian, apalagi tidak ingin saling mengenal. Bahkan di agama saya, Islam, semakin baik seseorang dalam memperlakukan tetangganya maka semakin baik imannya.
Berbicara soal tetangga. Kebetulan saya menghabiskan masa lajang saya di rumah orang tua yang kebetulan tinggal di perkampungan Betawi. Namun, lambat laun perkampungan Betawi yang semula masih banyak pepohonan rindang menjadi pemukiman padat yang ditinggali banyak pendatang.
Tinggal di lingkunan dengan latar belakang ekonomi dan pendidikan yang tidak seragam, seringkali memicu iri dengki, terutama dari penduduk asli. Penduduk asli iri pada pendatang yang yang entah mengapa semakin hari kehidupan perekonomian para pendatang justru jauh lebih baik dari para penduduk asli yang dahulu tuan tanah.
Namun sepanjang saya tinggal, tidak pernah ada perseteruan berarti. Rasa kekeluargaan para tetangga sedemikian kental. Saya tumbuh di lingkungan yang sehat.
Pengalaman bertetangga saya yang sebenarnya justru dimulai sejak saya berumah tangga. Sejak saya memutuskan untuk berumah-tangga saya pun keluar dari rumah dan tinggal di lingkungan baru. Tahun pertama menikah saya tinggal di apartemen. Sungguh saya sama sekali tidak merasa punya tetangga mesti unit kami berhimpitan.
Selama tinggal di apartemen, saya hampir tidak pernah bertegur sapa dengan tetangga. Bahkan saya tidak tahu siapa yang tinggal di unit sebelah atau depan saya. Sesekali berbasa-basi saat saya sedang berenang di kolam renang apartemen. Saya lebih kenal sekuriti, admin apartemen, tukang laundry atau kurir ketimbang tetangga saya.
Pindah ke perumahan di komplek elit pun tidak membuat saya merasa bertetangga. Selain karena kesibukan saya ngantor berangkat pagi pulang larut malam yang membuat saya tidak punya cukup waktu untuk bersosialisasi di hari kerja. Sayangnya hari libur pun saya lebih memilih untuk tidur atau hang out keluar komplek.
Satu-satunya teman bicara saya di kompleks hanya tetangga sebelah rumah yang kebetulan juga sering ditinggal suami pergi keluar negeri. Namun, ketika akhirnya dia beneran pindah ke New Zealand. Saya pun kehilangan soulmate di kompleks.
Saya baru benar-benar merasa bertetangga setelah melahirkan. Setelah Sydney lahir, saya punya kebiasaan mendorong-dorong stroller berkeliling komplek untuk menghirup udara segar di pagi hari. Saya yang semulai kikuk harus memulai pembicaraan dengan tetangga, tiba-tiba jadi begitu lancar bersosialisasi. Yah, kehadiran anak sepertinya merubah segalanya. Dan anak selalu menjadi topik pembicaraan yang cocok di segala suasana. Saya pun mulai bergaul dengan ibu-ibu komplek.
Semula saya ketakutan tak bisa bersosialisasi seperti layaknya orang dewasa bertetangga. Namun, syukurlah di komplek itu ada banyak pasangan muda seumuran. Para golongan tua pun tidak semengerikan yang saya pikirkan. Mungkin karena berada di kompleks dengan status ekonomi dan pendidikan yang hampir setara membuat saya tak kesulitan memulai obrolan.
Hingga suatu hari saya akhirnya pindah ke sebuah town house di tengah perkampungan. Komplek kecil ‘one gate system’ yang hanya delapan rumah. Anehnya, justru di komplek kecil ini saya merasakan untuk pertama kalinya konflik bertetangga. Padahal sebelumnya, di kompleks besar saya sama sekali tidak merasakan friksi sedikitpun.
Jadi singkat cerita, suatu hari ada pendatang baru di komplek kami. Keluarga kecil dengan dua anak. Di awal kedatangan mereka dengan sopan bertandang ke rumah untuk berkenalan sambil membawa bingkisan makanan. Sebuah kesan yang manis di awal pertemuan. Saya hampir tidak percaya kalau mereka sungguh tetangga yang aneh.
Sang istri adalah wanita karir. Sedang saya hampir selalu melihat sang suami di rumah. Sejatinya perumahan ini memang dirancang untuk para pasangan muda dengan mobil dan motor paling banyak satu, mengingat terbatasnya garasi dan area parkir. Dan keluarga ini punya tiga mobil, 2 motor dan 3 sepeda. Alhasil, kendaraan pribadinya ‘meluber’ sampai ke jalan dan mengganggu tetangga lainnya.
Sang suami yang pengacara alias pengangguran banyak acara paling suka memantau para tetangga dari lantai atas. Dan dia selalu punya bahan untuk komplain tentang kami kepada Pak RT yang kebetulan tinggal di sebelah komplek. Aduannya pun aneh, dia tidak suka siapapun melihat ke arah rumahnya, tidak suka kucing persia peliharaan tetangga melintas di halamannya, tidak suka ada tetangga yang parkir kendaraan di depan rumah (lah dia malah lebih parah), tidak suka ada anak kecil yang berlarian di halaman komplek, dan lain-lain. Sungguh tetangga yang aneh. Singkat cerita akhirnya si tetangga aneh pun memilih hengkang dengan alasan tidak betah punya tetangga yang aneh. Haduh yang aneh siapa ya?
Setelah kepergian dia, suasana komplek kembali adem ayem. Dan sayapun mulai merasakan kembali enaknya bertetangga.
Kurang dengan hanya bersosialiasi dengan tetangga yang bisa dihitung jari, saya pun melanglang buana ke perkampungan di luar komplek. Karena empat dari delapan rumah lebih sering kosong ketimbang isinya. Empat rumah itu hanya jadi rumah kesekian dari para pemilik. Salah satu tetangga yang bule, bahkan rumahnya dibiarkan kosong lebih dari 1,5 tahun hanya tiap bulan sesekali cleaning service datang membersihkan.
Saya pikir saya sudah hebat karena saya kenal dengan banyak orang di perkampungan sekitar komplek. Namun, rupanya suami saya yang bule jauh lebih dikenal di kampung itu. Sang suami yang sebetulnya belum bisa berkomunikasi lancar dalam bahasa Indonesia malah didapuk warga menjadi pengurus masjid. Dan suami saya justru merasa nyaman bertetangga di Indonesia untuk pertama kalinya di sini. Dia sudah tidak kikuk lagi kalau diundang orang hajatan atau nongkrong ‘ngopi’ bareng di rumah warga.
Ini pengalaman saya bertetangga, bagaimana dengan pengalaman Anda?
(Disclaimer: Rubrik “Jakarta Kita” adalah kumpulan artikel non formal yang lebih bersifat opini atau fiksi bukan bagian dari berita resmi jakartakita.com)