Siapa yang tak kenal dengan kisah klasik Cinderella? Sebuah dongeng legendaris tentang Cinderella yang malang harus tinggal dengan ibu tiri dan dua saudara perempuannya yang jahat sepeninggal ayah kandungnya. Namun, nasib baik berpihak pada gadis baik hati ini. Ibu peri memberinya kesempatan ke pesta dansa pangeran. Walau hanya diberi waktu hingga jam 12 malam. Cinderella tetap bersyukur.
Nyaris lupa tentang pesan ibu peri agar pulang sebelum jam 12. Cinderella pulang dengan tergesa-gesa hingga meninggalkan sepatu kacanya satu. Sepatu kaca itu yang akhirnya mempertemukannya kembali dengan pangeran pujaan hatinya. Mereka pun hidup berbahagia selamanya.
Saking populernya dongeng ini pun diadopsi dalam berbagai versi menjadi sebuah cerita di layar kaca ataupun layar lebar. Meski nama tokoh berbeda, intinya tentang kisah perempuan malang yang bertemu dengan pangeran pujaan kemudian hidup mereka ‘happily ever after’.
Yah, tak dapat dipungkiri banyak gadis yang hidup dengan membawa impian menjadi seorang Cinderella. Bahwa suatu hari mereka akan bertemu dengan seorang lelaki kaya yang akan menikahinya sehingga mereka hidup berbahagia selamanya. Apalagi layar kaca kita disesaki oleh cerita-cerita serupa dengan Cinderella.
Akibatnya banyak perempuan biasa saja yang bermimpi punya kekasih kaya raya dan memanjakannya dengan materi. Segala cara pun dilakukan untuk meraih impiannya, termasuk menjadi simpanan para om-om berkantong tebal. Karena dalam pikiran pendek mereka, hanya dengan begitu impiannya akan tercapai.
Tak sedikit para gadis muda yang memburu para bule demi meraih impian menjadi seorang ‘Cinderella’. Tak peduli latar belakang sang bule, yang penting bule bisa cas cis cus. Akhirnya banyak yang kecewa karena ternyata mereka memacari bule kere yang kebetulan sedang liburan ke Indonesia ala ‘backpacker’. Belum sempat meraih bahagia bak Cinderella, sang gadis keburu hamil duluan. Dan si bule kabur. Yah, nasib! Masih untung sih dapat anak ‘bule’.
Saya masih ingat persis ketika saya remaja, ada seorang bule yang tinggal di rumah petakan di lingkungan rumah saya. Sang bule tua itu menikah dengan seorang perempuan Indonesia. Sungguh keadaannya mengenaskan. Beberapa kali saya melihat si bule menggotong-gotong kayu besar, rupanya si bule dahulu di negara asalnya adalah tukang kayu. Saat berlibur di Indonesia bertemu gadis Indonesia di klub malam dan si gadis hamil. Visa si bule ‘expired’ terpaksa luntang-lantung di Indonesia. Dan jadi tukang kayu untuk menghidupi keluarga kecil mereka. Kebetulan sang gadis juga tidak berpendidikan.
Di kawasan puncak banyak gadis-gadis pengejar dolar yang rela menjadi istri kontrak para turis Arab yang sedang berlibur. Para turis Arab yang menjadi ‘suami’ sementara mereka memang mewujudkan impian masa kecil mereka untuk menjadi Cinderella. Bagaimana tidak, gadis desa yang bahkan tidak kenal mall tahu-tahu dipersunting pria-pria berhidung mancung yang lebih ganteng dari kebanyakan pemuda di desanya, dan tiba-tiba hidupnya bergelimang harta. Tidak abadi memang. Tetapi setidaknya mereka sudah merasakan bagaimana enaknya menjadi ‘Cinderella’. Setelah habis masa kontrak ya cari Arab lainnya.
Para bule memang bernasib mujur di Indonesia. Bule berwajah pas-pasan pun bisa jadi ‘rebutan’ para gadis di Indonesia. Tak hanya soal cinta. Para bule ini juga cukup beruntung untuk modal cari kerja. Banyak perusahaan ‘ecek-ecek’ dan sekolah-sekolahan yang berani membayar mahal untuk tenaga bule demi sebuah ‘prestige’.
Makanya tak mengherankan kalau di sekitar kita banyak sekali bule tua yang beruntung mendapatkan perempuan muda yang kinyis-kinyis nan seksi. Lelaki pribumi tampan kalah saing.
Ada juga para gadis remaja yang mati-matian cari bule lewat dunia maya. Mereka dengan mudah termakan bujuk rayu para bule teman mayanya yang tinggal di negeri antah berantah. Akhirnya berujung kecewa.
Walau saya tidak memungkiri banyak perempuan Indonesia yang beruntung menikah dengan bule. Padahal mereka sama sekali tidak bermimpi berjodoh dengan bule. Takdir yang mempertemukan mereka.
Tak hanya menghinggapi para perempuan dari latar belakang pendidikan yang rendah. Sayangnya, Cinderella Syndrome ini juga menyerang para perempuan modern yang berpendidikan.
Banyak perempuan di luar sana yang kini sedang berkarir selepas lulus dari sebuah perguruan tinggi bergengsi, bercita-cita segera menikah dengan lelaki pujaannya, agar ia tak perlu lagi bekerja banting tulang. Toh sudah ada suami yang akan menafkahinya setiap bulan.
Walau saya mendukung para perempuan yang akhirnya memilih berhenti berkarir demi keluarga. Namun saya sama sekali tak bisa mengerti mengapa ada perempuan yang bercita-cita menikah hanya karena capek berkarir. Sama tidak mengertinya dengan para lelaki yang bercita-cita untuk menikah hanya agar ada orang selalu memasakannya, mencuci bajunya, dan seabrek tugas rumah tangga lainnya selain kebutuhan seks. Hanya segitu kah tujuan menikah?
Makanya tak mengherankan kalau saat ini, banyak sekali pasangan muda yang belum lama menikah akhirnya bercerai. Fenomena seperti itu kian meningkat. Padahal waktu mereka berpacaran, sepertinya tidak ada masalah. Namun setelah memasuki dunia pernikahan banyak hal yang mereka temui, bahkan mungkin hal-hal sepele, yang menjadi pemicu keretakan dalam rumah tangga.
Pernikahan mereka tidak sesuai harapan. Karena di mata perempuan, suami mereka bukanlah prince charming yang selama ini diidamkan. Begitupun sang lelaki.
Tidak sedikit perempuan yang lama melajang karena belum menemukan karakter pangeran seperti yang dibayangkannya; ganteng, kaya raya, baik hati, setia, dan lain-lain. Tahu-tahu usia beranjak tua dan si pangeran belum juga muncul. Waduh!
Pangeran berkuda tidak akan datang dengan sendirinya. Selain perkara takdir ada juga faktor doa dan ikhtiar. Sampai dimana ikhtiar Anda untuk menjaring pangeran Anda. Semakin sempurna karakter pangeran yang Anda bayangkan, semakin jauh impian Anda akan tercapai. Yakin diri Anda sudah cukup sempurna untuk menjaring lelaki sesempurna pangeran dalam dongeng Cinderella?
Daripada hanya bermimpi menunggu prince charming. Lebih baik Anda menyibukan diri dengan memperbaiki diri. Ingin menikah dengan lelaki sholeh ya Anda harus shalihah. Ingin menikah dengan lelaki pandai, Anda harus bekali diri Anda dengan pengetahuan yang luas biar nyambung ngobrolnya. Dan tentu saja Anda harus keluar dari tempurung Anda, agar para lelaki itu menangkap sinyal bahwa Anda sedang mencari pangeran. Karena ini bukan zaman Cinderella dimana seorang pangeran ‘ujug-ujug’ datang ke tiap rumah para gadis untuk mencari gadis yang kehilangan sebelah sepatu kacanya untuk dinikahi. Be realistic girl!
(Disclaimer: Rubrik “Jakarta Kita” adalah kumpulan artikel non formal yang lebih bersifat opini atau fiksi bukan bagian dari berita resmi jakartakita.com)