Salah satu kisah yang ingin saya bagikan di sini adalah tentang bagaimana ada nama Schneider di belakang Boy Dian. Nama yang terbilang mustahil untuk disematkan sebagai nama belakang orang pribumi. Lebih mirip nama keluarga orang bule.
Sekilas memang Pak Boy yang berusia 64 tahun ini mirip orang bule berambut hitam, lengkap dengan kulit totol-totol ala orang bule. Awalnya saya menebak Pak Boy adalah keturunan Belanda Ambon atau malah Belanda Depok. Karena kebetulan ada banyak teman saya yang kebetulan memiliki tampang bagus yang tidak bisa dibilang pribumi namun juga tidak bisa disebut bule. Lalu bagaimana ada nama keluarga Schneider? Begini ceritanya!
Bagi yang pernah belajar sejarah pasti tahu persis, bahwa setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Indonesia tidak benar-benar lepas dari penjajah. Setelahnya, Indonesia masih harus berperang mengusir penjajah dan para sekutu yang hendak kembali bercokol di Indonesia. Salah satu pertempuran paling fenomenal yang terjadi pasca proklamasi kemerdekaan adalah perang heroik di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.Di perang inilah, kisah Pak Boy Dian Schneider dimulai.
Alkisah tahun 1945, keadaan Jerman Timur masih mencekam pasca perang dunia kedua yang baru saja berakhir. Maria Yosephine Schneider, seorang gadis Jerman keturunan Turki kelahiran 5 Mei 1927 mendaftar menjadi sukarelawan tim palang merah internasional. Tugas pertamanya adalah mendampingin tentara Jerman yang menjadi sekutu Belanda dalam menjajah Indonesia.
Sebenarnya keluarga Schneider tidak menyetujui keinginan Maria untuk bergabung bersama tim palang merah. Menurut mereka pergi ke medan perang yang masih memanas bukanlah ide baik bagi seorang gadis 18 tahun untuk tamasya keluar negeri. Namun, tak ada yang mampu membendung tekad Maria yang sudah bulat untuk mendampingi tentara sekutu di Indonesia.
Meski dengan berat hati, kedua orang tua Maria pun mengizinkannya pergi. Maria pun pergi meninggalkan keluarga di Jerman Timur dengan menumpang kapal laut bersama para tentara Jerman dan relawan lainnya.
Setelah hampir sebulan terombang-ambing dalam lautan lepas, Maria pun tiba di pelabuhan Tanjung Emas Surabaya. Setibanya di Indonesia, tugas berat pun langsung menanti Maria. Karena pertempuran demi pertempuran dahsyat antar tentara sekutu dan tentara Republik Indonesia telah dimulai.
Sebagai relawan kemanusiaan yang tergabung dalam palang merah Internasional, Maria didoktrin untuk tidak membeda-bedakan pasien dalam memberikan pertolongan medis. Tak peduli sekutu ataupun tentara Indonesia.
Namun, seiring dengan waktu, Maria malah lebih nyaman menolong tentara Indonesia ketimbang tentara sekutu. Selama menolong korban yang jatuh dari tentara sekutu, selalu saja ada tangan-tangan jahil para bule yang menjamah tubuhnya yang ranum. Maria benci itu! Sebaliknya hal tersebut tidak pernah terjadi kalau ia kebetulan sedang bertugas di markas tentara Indonesia. Semua kaum pribumi sopan, dan menghormati wanita. Maria pun semakin kagum dengan Indonesia.
Lambat laun, hati Maria pun membelot dan simpatik pada perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Maria memutuskan untuk bergabung dengan tentara Indonesia. Dengan begitu Maria akan lebih fokus merawat luka pribumi. Maria pun melarikan diri dari markas tentara sekutu tanpa paksaan.
Dalam pelariannya itu Maria bertemu dengan salah seorang pejuang keturunan Maluku bernama Effendie Ghofur. Pemuda ganteng yang rajin shalat telah memikat hati Maria. Semakin hari rasa cinta Maria kepada salah seorang tentara yang ikut dalam pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya ini semakin besar. Untungnya, rasa cinta Maria tidak bertepuk sebelah tangan. Effendie pun menyambut cinta Maria.
Setelah pertempuran usai, akhirnya Effendie menikahi Maria Yosephine Schneider secara islam. Lagi pula setelah pertempuran usai, Maria luntang-lantung karena telah meninggalkan tentara sekutu. Sedang para relawan yang dahulu sama-sama berangkat dengan Maria dari Jerman sudah banyak yang kembali ke Jerman. Maria ogah kembali kepada tentara sekutu.
(bersambung ke bagian 2)