Ibu Maria pun menangis sejadi-jadinya mengetahui anak gadisnya pulang tinggal nama. Bahkan beliau tidak bisa melihat jasad anak gadis kesayangannya.
Berbulan-bulan keluarga Schneider masih menanti keajaiban, suatu hari anak gadisnya akan pulang dengan selamat. Keluarga Schneider yang saat itu merupakan salah satu keluarga terpandang karena bisnisnya pun tak berhenti berusaha. Mereka tak sayang menggelontorkan dana yang tak sedikit demi mendapatkan informasi tentang keberadaan anak gadisnya. Namun, setelah bulan berganti tahun, dan tahun pun berganti, kabar tentang Maria tetap gelap. Maria hilang tak tahu rimbanya.
Akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk mengikhlaskan Maria. Maria dianggap telah meninggal dunia. Pihak keluarga pun menggelar upacara pemakaman dan membangun batu nisan berukir namanya. Walau mereka tak pernah melihat jasad Maria.
Bisnis Schneider yang dibangun sejak tahun 1836 pun semakin lama semakin maju pesat. Apalagi setelah runtuhnya tembok Berlin. Schneider melakukan ekspansi besar-besaran dengan mengakuisisi sejumlah perusahaan elektrik besar di seluruh dunia. Perusahaannya tersebar di seluruh dunia.
***
Semenjak menikah, Maria dan Effendie hidup bahagia meski harus hidup sederhana dengan penghasilan pas-pasan dari seorang veteran perang dengan pangkat yang tidak tinggi. Maria dan Effendie memiliki 4 orang anak. Dari keempat anaknya hanya Boy Dian yang menyematkan nama Schneider di belakang namanya.
Sebetulnya menurut hukum Islam, nama keluarga yang disematkan di belakang harus dari nama bapak bukan ibu. Namun Boy waktu itu punya alasan sendiri mengapa menambahkan nama belakang Schneider. Boy sangat menyayangi sang ibu, dan sang ayah pun mendukung niat Boy saat itu. Siapa sangka kalau hal itulah yang kemudian hari membantu Boy bertemu dengan keluarga besar Schneider di Jerman.
Kebetulan pada tahun 1988, Boy Dian yang sudah bekerja sebagai pegawai Pemprov DKI mendapatkan kesempatan beasiswa S2 di New Zealand. Salah satu teman kampusnya yang sama-sama menggunakan nama belakan Schneider pun tertarik menanyakan perihal nama Schneider yang juga tersemat di belakang nama Boy Dian.
Mungkin pikir si bule itu, “kurang ajar sekali pribumi Indonesia itu memasang nama besar Schneider di belakang namanya”. Apalagi saat itu Schneider telah menjelma menjadi sebuah kerajaan bisnis yang demikian besar di dunia.
Boy Dian pun menceritakan duduk persoalannya tentang sang Mama, Maria Yosephine Schneider. Tak lupa Boy menceritakan hal-hal yang diceritakan sang mama tentang keluarganya.
Langsung kagetlah si bule saat mendengar cerita Boy. Pasalnya mama sang bule juga sempat menceritakan tentang adiknya yang hilang tak tahu rimbanya saat menjadi relawan palang merah internasional di Indonesia. Dan nama adik mamanya yang merupakan tantenya itu adalah Maria Yosephine Schneider.
Selain itu banyak kisah Boy yang selaras dengan apa yang diceritakan oleh keluarga Schneider yang lain. Alhasil mereka pun berpelukan penuh haru. Akhirnya untuk pertama kalinya Boy bertemu orang lain dari trah Schneider.
Pulang dari New Zealand, Boy pun menceritakan pertemuannya itu pada sang mama. Sang mama ikut bahagia akhirnya bisa mendapat kabar kalau saudaranya masih hidup.
Begitupun sang bule, teman Boy yang merupakan trah Schneider kembali ke Jerman menceritakan tentang pertemuannya itu. Pihak keluarga besar Schneider pun sepakat untuk menemui Maria yang hilang di Indonesia.
Sayang sebelum pertemuan itu terlaksana, Maria Yosephine Schneider sudah keburu meninggal. Namun pihak perwakilan Schneider cukup terpuaskan dengan mengunjungi makam Maria dan beramah-tamah dengan keluarga Maria di Indonesia.
Meskipun sudah meninggal, Maria Yosephine Schneider tetaplah keturunan Schneider. Anak keturunan Maria Yosephine Schneider pun berhak mendapatkan warisan keluarga besar Schneider.
Alhasil setiap tahunnya, Pak Boy dan saudara-saudaranya mendapatkan pembagian keuntungan perusahaan raksasa Schneider yang besarnya hampir 1 milyar. Tak hanya pembagian keuntungan. Setiap tahunnya Pak Boy dan saudaranya pun diundang untuk menghadiri pertemuan keluarga Schneider yang diadakan di luar negeri. Terkadang di Jerman, Swiss, Luxemburg, Singapura, dan lainnya.
Jadi aslinya, pak Boy itu cukup sejahtera dengan gaji tahunan yang merupakan pembagian keuntungan perusahaan Schneider. Lantas mengapa pak Boy memilih jadi supir taksi?
Kebetulan setelah pak Boy pension dari Pemprov DKI. Pak Boy pun merasa bosan tinggal di rumah saja dan tak berkegiatan. Apalagi keempat anaknya sudah besar. Maka pak Boy memutuskan untuk mengisi hari-hari tuanya dengan menjadi supir taksi Trans Cab yang kebetulan pool-nya tidak jauh dari rumahnya di Vila Dago Pamulang.
Pak Boy yang juga pandai mengendarai helikopter ini merasa dengan tetap berkegiatan, pikirannya menjadi tetap waras. Karena setiap harinya bertemu dengan banyak orang yang berbeda untuk berbagi cerita.
Ah kisah yang mengharukan!
Perkara jodoh memang misterius, kita tidak pernah bisa memilih kapan, dimana dan dengan siapa kita akan berjodoh. Boleh jadi pasangan kita terpisah ribuan mil di sana atau tetangga sebelah rumah yang sekaligus teman sepermainan. Boleh jadi dia berbeda zaman dengan kita atau malah sebaya. Boleh jadi dia musuh besar kita atau malah pujaan hati.
Begitupun Effendie Ghofur seorang pejuang 45 yang memilih untuk bertemu dan kemudian memutuskan untuk menikahi kekasihnya Maria Josephine Schneider warga Jerman yang bergabung dengan tentara sekutu. Pak Effendie dan Maria tidak pernah tahu kalau dalam kitab lauhul mahfuz, jauh sebelum mereka diciptakan. Allah telah menggariskan sebuah suratan nasib bahwa suatu hari kelak mereka akan bertemu, menikah dan memiliki anak keturunan.