Saya yakin alasan media sosial diciptakan bukan hanya semata-mata untuk mengakomodasi kebutuhan manusia untuk saling berinteraksi dengan sesamanya. Namun, ada alasan lain yang lebih dahsyat, hingga membuat bisnis media sosial ‘laris manis’.
Alasan media sosial diciptakan karena manusia pada dasarnya punya naluri kuat untuk pamer dan selalu ingin tahu urusan orang lain. Coba tanya pada diri Anda sendiri, apa alasan Anda menjadi pengguna aktif media sosial?
Menjadi pengguna media sosial harus siap pamer atau ‘menelan ludah’ dari aksi pamer orang lain. Apapun postingan Anda, mau tidak mau adalah salah satu bentuk pamer. Sekalipun kadang level pamernya masih dalam batas wajar. Semisal; Anda mengganti status dari ‘single’ menjadi ‘in relationship’, sebagai pemberitahuan kepada seluruh teman Anda di Facebook bahwa Anda sekarang tidak jomblo lagi, alias sudah ‘laku’. Itu hal yang wajar bukan? Tetapi tahukah Anda bahwa aksi penggantian status Anda akan ‘mejeng’ di timeline Anda dan semua teman yang mem-follow Anda akan membacanya.
Setiap orang punya standar wajar yang berbeda-beda. Tidak sedikit, pengguna facebook yang secara tidak sengaja memamerkan betapa hidupnya adalah impian semua orang, misal; punya pasangan hidup, anak yang lucu, karir yang bagus, mobil dan rumah yang keren, sering liburan, dan lain-lain. Tentu saja, pengguna media sosial yang kebetulan bernasib kurang beruntung semakin merasa betapa sengsaranya dia.
Bagus sekali kalau Anda mengaku Anda bukan tipe tukang pamer yang terbiasa narsis gila-gilaan di media sosial. Anda beralasan, bahwa tujuan Anda mendaftar akun media sosial hanya untuk sekedar menjalin silaturahmi dengan keluarga jauh, teman lama, sejawat, dan lain-lain tanpa harus rajin memposting foto dan status.
Namun, janganlah ‘senewen’ kalau ada orang di lingkaran pertemanan Anda yang rajin meng-update statusnya dengan hal-hal yang menurut Anda tidak penting. Toh, mereka ada di lingkaran Anda karena Anda sendiri yang menambahkan.
Naluri kuat mau tahu urusan orang lain, adalah alasan lain yang menjadikan seseorang memutuskan untuk menjadi pengguna media sosial. Tak dapat dipungkiri, hasrat kuat Anda untuk mau tahu urusan orang lain membuat Anda selektif dalam memilih teman yang akan Anda follow.
Kalau Anda merasa bukan tipe yang mau tahu urusan orang lain. Tetapi, pernahkan Anda mengklik nama seseorang di akun media sosial untuk sekedar mencari tahu siapa dia? Atau Anda tiba-tiba tertarik mengklik nama yang sengaja ditautkan dalam postingan teman Anda? Pasti pernah! Kalau Anda bukan tipe suka pamer dan mau tahu urusan orang lain, tidak mungkin mau jadi pengguna akun media sosial.
Dalam media sosial, kita bisa menemukan beragam tipe pengguna. Status, postingan foto/video, link situs yang di-share dapat menggambarkan siapakah si pemilik akun. Namun, tidak sedikit orang biasa yang menjadi sangat luar biasa lewat pencitraan yang sukses di media sosial.
Dari sekian banyak tipe pengguna medsos, saya tak habis pikir dengan mereka yang sering mengumbar status bernada negatif. Apakah mereka pikir media sosial layaknya diary pribadi, yang bisa seenaknya menumpahkan unek-unek? Apakah mereka lupa kalau status yang mereka ketik dari smartphone, tablet, atau PC akan muncul di timeline yang otomatis akan terbaca oleh seluruh teman yang mem-follow, bahkan manusia sejagat maya bisa ikut membaca kalau akun media sosial mereka tidak diproteksi?
Lalu apa maksud mereka mengumbar status negatif? Tentu saja untuk mendapatkan perhatian dari jagat maya, mungkin di dunia nyata mereka kurang mendapatkan perhatian. Mungkin mereka tidak punya hal lain yang bisa dipamerkan selain status “sampah”.
Pikiran negatif nyatanya memang senang berada di sekeliling kita sehingga lebih mudah ditangkap daripada pikiran positif. Mungkin, apa yang kita maupun orang lain utarakan adalah hal negatif yang sepele dan biasa saja, seperti keluhan saat rekan kerja yang menyebalkan, jalanan macet, menyindir. Tapi, ternyata keluhan demi keluhan itu lama-kelamaan bisa mengganggu kenyamanan mata yang membaca. Karena status bernada negatif tersebut ‘berkeliaran’ di timeline dan menularkan aura negatif ke semua orang yang kebetulan membaca.
Virus keluh mengeluh semacam ini banyak diketemukan di media sosial. Selalu ada saja orang yang pandai mengeluh daripada piawai memperbaiki keadaan yang dianggapnya ‘menyebalkan’. Keluhan demi keluhan bisa menjadi bagian dari kompensasi negatif atas ketidakcakapan orang menghadapi kompleksitas situasi. Karena ia tidak mampu mengubah berbagai hal seperti kemauannya, maka dia mengeluhkan hal-hal itu dan apapun berbagai hal lainnya yang bisa dia keluhkan.
Jika Anda memiliki teman yang hobi berstatus negatif seperti itu di media sosial, apa yang perlu Anda lakukan?
Cara mencegah yang terbaik adalah hindarkan diri Anda dari ‘radiasi’ status negatif yang terus-menerus. Tidak ada salahnya jika Anda memilih untuk memutuskan hubungan pertemanan dengannya. Delete, Unfollow, Block! Beres!
Untuk sementara waktu saya memang sedang ‘off’ di medsos terutama Facebook. Sebenarnya saya sudah memprotek fesbuk saya untuk alasan keamanan karena pernah harus mengganti fesbuk pasca dibobol orang tak bertanggung jawab. Namun, ternyata pembatasan jumlah teman yang hanya kurang dari 200 orang dari kalangan keluarga dan teman dekat tidak membuat saya membatasi diri dari membaca status ‘sampah’.
Saya merasa terganggu dengan status beberapa teman di lingkaran saya, yang tak bosan-bosannya mengumbar status negatif. Dari status yang berisi keluhan, kemarahan, kesedihan, sumpah serapah hingga keinginan untuk bunuh diri.
Ada juga beberapa yang saya coba dekati untuk tahu ada apa sebenarnya hingga ia begitu ‘negatif’. Namun, ada juga yang terpaksa saya delete karena saya sudah capek.
Dan ternyata status galau negatif tidak hanya menjangkiti golongan muda yang jomblo. Justru teman di lingkaran saya yang jomblo malah ‘positif’. Salah satu target ‘delete’ di lingkaran saya yang suka mengumbar status negatif berisi kebencian pada diri sendiri atau golongan lain justru mereka yang kebetulan sudah menikah lama namun tak beroleh anak. Ah rupanya kehadiran anak bisa menambah kedewasaan seseorang tak peduli usianya masih muda.