Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar tidak gegabah merelaksasi sektor perbankan. Jangan sampai rencana tersebut hanya sekedar pelampiasan rasa frustrasi karena belum berakhirnya gejolak pasar keuangan saat ini.
Rencana relaksasi sektor perbankan dengan mempermudah pembukaan cabang serta pembebasan menggunakan badan hukum Indonesia bagi bank asing yang akan beroperasi di Indonesia lebih besar mudharat ketimbang manfaatnya.
Manfaat jangka pendek yang diharapkan OJK dari kebijakan relaksasi yaitu aliran masuk devisa belum tentu terjadi, namun kerugiannya sudah pasti. Dalam jangka panjang akan semakin memperkuat cengkraman asing atas sektor perbankan Indonesia. Pada hakikatnya, rencana relaksasi sektor perbankan tersebut adalah liberalisasi lanjutan yang dialami Indonesia sejak krisis ekonomi dan moneter tahun 1998.
Masih jelas terlintas bagaimana Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus, dengan gaya yang arogan mengarahkan Presiden Soeharto untuk menandatangani Letter of Intent (LOI) pada tahun 1998. Salah satu poin dalam LOI tersebut adalah liberalisasi sektor perbankan di Indonesia. Akibatnya sejak saat itu sebagian besar bank swasta nasional dikuasai asing secara mayoritas. Sebelumnya ada aturan yang melarang kepemilikan mayoritas oleh asing pada perbankan Indonesia.
Memang diakui bank asing dan campuran memiliki loan to deposit ratio (LDR) tertinggi pada perbankan Indonesia dimana di Juli 2015 sebesar 144,2 persen. Artinya lebih banyak kredit yang disalurkan mereka di Indonesia ketimbang dana masyarakat yang dikumpulkan mereka di negara ini. Namun perlu dicermati bahwa nilai kredit yang disalurkan mereka baru sebesar 11,9 persen dari total kredit perbankan Indonesia. Selain itu, diyakini sebagian besar kredit mereka mengalir ke investor asing yang berinvestasi di Indonesia, terutama yang memiliki negara asal yang sama.
Rencana relaksasi sektor perbankan oleh OJK juga melanggar azas reciprocal. Selama ini, bank nasional Indonesia sangat sulit membuka cabang di luar negeri. Bahkan yang telah memiliki cabang sulit untuk menambah cabang baru. Negara tuan rumah selalu melakukan tindakan mempersulit upaya tersebut lewat berbagai aturan. Anehnya OJK ingin mempermudah bank-bank mereka membuka cabang di Indonesia dimana berpotensi mengancam perbankan nasional.
OJK hendaknya jangan terjebak memperlakukan Indonesia layak negara-negara kecil yang memang tidak memiliki sumber daya alam yang cukup. Kekurangan tersebut membuat mereka menggantungkan ekonomi pada aktivitas bank-bank asing di negara mereka. Sebaliknya, Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar.
Sumber daya alam Indonesia yang besar menjadi incaran asing selama ini. Dengan semakin menguasai perbankan Indonesia mereka dapat menguasai sumber-sumber daya tersebut dengan murah. Caranya dengan sebelumnya menggoncang pasar keuangan Indonesia. Goncangan tersebut ditujukan memperlemah Rupiah sehingga aset-aset nasional dikuasai dengan murah dalam mata uang US Dollar. Akhirnya, kemandirian ekonomi yang diimpikan Indonesia akan sekedar menjadi mimpi di siang bolong.
Dilihat pada besarnya mudharat dari rencana kebijakan relaksasi sektor perbankan, maka sebaiknya OJK tidak merealisasikan rencana yang tidak menguntungkan tersebut. Sebaiknya OJK mengeluarkan aturan yang bersifat pencegahan dan pengendalian. Pertama, mengeluarkan aturan yang memiliki sanksi hukum untuk mencegah perilaku spekulatif membeli US Dollar oleh perusahaan-perusahaan yang berada di bawah pengawasannya. Pelaksanaan aturan tersebut harus diawasi dengan ketat serta pemberlakuan sanksi tegas bagi pelanggarnya.
Kedua, mengeluarkan aturan yang mendorong perusahaan-perusahaan yang diawasinya melakukan diverfikasi pinjaman maupun transaksi luar negeri dengan menggunakan mata uang non-US Dollar. Lewat dua kebijakan ini diharapkan dapat menekan permintaan US Dollar di pasar sehingga bisa memperkuat kembali Rupiah.****
Penulis : Agus Tony Poputra, Ekonom Universitas Sam Ratulangi