(Nukilan dari salah satu buku saya yang berjudul ‘Haru Biru Si Ibu Baru’)
Sepanjang perjalanan hidup, kita sering dihadapkan pada rentetan pertanyaan yang tiada henti. Pertanyaan yang seringkali terlalu retoris dan tak perlu penjelasan yang gamblang. Pertanyaan yang terlalu pribadi yang terkadang tak perlu dipertanyakan.
Ketika masih bocah kencur berusia SD. Pertanyaan basa-basi yang keluar dari mulut orang-orang dewasa adalah pertanyaan seputar;
Kapan naik kelas? rangking berapa? NEM berapa? Kapan lulus SD? Mau masuk SMP mana? Negeri atau swasta?
Saat kita beranjak remaja, pertanyaan sudah mulai berbeda. Kapan lulus SMA? Kapan kuliah?
Saat kita di bangku kuliah, pertanyaan berikutnya adalah; Kapan skripsi? Kapan lulus? Atau lebih parahnya adalah kok gak lulus-lulus? Betah ya di kampus?
Saat lulus kuliah, kita kembali diberondong pertanyaan; Kapan kerja?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini masih bisa ditolerir dan dianggap sebagai pemicu dan motivasi bagi kita. Karena dengan berhasilnya kita memuaskan jawaban si penanya, disitulah titik prestasi kita. Pertanyaan itu masih bisa dianggap sebagai suatu standar keberhasilan bagi seseorang. Patokan usia menjadi standar mutlak bagi seseorang menempuh jenjang karirnya, dari SD hingga lulus kuliah.
Adalah keterlaluan bila seseorang bertahan di bangku SD saat dirinya menginjak usia 17 tahun. Atau sudah usia 27 tahun belum juga menamatkan bangku SMA tanpa sebab. Makanya pertanyaan itu bisa dijadikan standar keberhasilan seseorang.
Dan menurut saya lulus SD, rangking, lulus kuliah, dll bukan merupakan takdir mutlak. Tuhan masih memberikan pilihan baginya untuk bisa menjadi apa yang diinginkannya dengan ikhtiar. Bila seseorang ingin lulus SD/SMP/SMA, dapat ranking, masuk sekolah atau perguruan tinggi negeri ya harus belajar dengan sungguh-sungguh.
Tapi bagaimana dengan pertanyaan yang telah menanti lajang ketika di usia dewasa, seperti; Sudah menikah?
Pertanyaan ini masih sopan dan bisa ditolerir. Begitu juga dengan pertanyaan “Kapan nikah?” Tetapi ketika pertanyaan sudah berubah menjadi kesinisan dari seorang penanya/komentator kurang ajar.
“Kok belum nikah-nikah sih? Kapan nyusul? Memangnya tidak kepengen? Memangnya gak ada yang cocok? Sampai kapan melajang, nanti jadi perawan tua/bujang lapuk loh. Memangnya belum laku-laku yah? Sebenarnya kamu normal l tidak sih?”
Sudah pasti pertanyaan ini akan membuat kuping seorang lajang menjadi panas, muka merah padam menahan amarah atau malah kentut. Dada bergelora, tangan mengepal tinju, kaki siap melayang bebas ke muka si penanya atau komentator parah ini.
Lama-kelamaan pertanyaan ini bisa membuat seorang lajang yang sudah sedikit depresi dalam penantian menjadi semakin depresi. Dan akhirnya mencari jalan pintas untuk segera membuat perburuan jodoh. Targetnya hanya satu, sesegera mungkin mencari seseorang yang akan dikawini atau mengawini dirinya demi untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan dari seluruh penjuru mata angin.
Pernikahan seperti kehilangan esensinya karena tujuannya bukan lagi untuk membangun keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Tetapi untuk masuk dalam standarisasi yang ditetapkan oleh manusia. Agar tidak mendapat malu karena ‘gak laku-laku’ atau ‘perawan tua’ dan ‘bujang lapuk’.
Tak jarang orang-orang beriman memohon-mohon kepada Tuhan-Nya untuk segera diberikan jodoh atau segera menggerakkan hati kekasihnya untuk menikahinya. Tidak hanya memohon, tetapi doa yang mengancam.
Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah. Siapapun yang berdoa kepadanya dengan penuh kesungguhan, pasti akan dikabulkan. Seandainya kamu meminta sekarang juga agar kekasih yang kau cintai untuk menikahimu sekarang juga mungkin akan kabulkan. Tetapi apakah kamu yakin dia adalah seseorang yang tepat untuk menemani hidupmu. Apa kamu yakin waktunya telah tepat? Apa kamu yakin pernikahan akan menyelesaikan masalah dan membuatmu bahagia?
Saya selalu berpikiran positif terhadap Allah. Saya selalu menekankan dalam diri saya bahwa apapun yang diberikan Allah kepada saya adalah yang terbaik. Setiap detik yang diberikan Allah kepada saya adalah waktu-waktu terbaik saya.
Saya belajar untuk berdoa dengan penambahan kata-kata, “Ya Allah berikanlah kepadaku yang terbaik menurut-Mu.” Karena kacamata manusia terlalu buram untuk melihat jauh ke masa depan tentang hal-hal yang terbaik.
Saya tidak ingin seperti teman saya, yang waktu lajang dia terburu nafsu untuk menikah dengan kekasihnya. Hingga dalam setiap doanya dia selalu ‘mengancam’ agar dipasangkan dengan kekasihnya dalam pernikahan. Pernikahan memang terjadi, namun setahun kemudian perceraian memisahkan mereka dengan teramat pahit.
Mungkin saat doa-doa itu mengetuk pintu Ar Rasy. Allah sudah tahu bahwa lelaki itu sangat tidak baik untuk dirinya. Namun kasih sayang Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang tak sanggup melihat hamba-Nya merajuk. Maka dikabulkan juga, namun resikonya harus ditanggung sendiri.
Boleh jadi sebenarnya bila dia mau bersabar sedikit, atau menyerahkan urusan jodohnya kepada Allah tanpa mengabaikan ikhtiar. Allah telah menyiapkan jodoh yang teramat sesuai untuk dirinya. Tetapi teman saya tidak sabar. Cinta telah membutakan matanya, dan dia juga sudah bosan ditanya ‘kapan menikah’. Maka pernikahan tanpa esensi itu pun dilakoninya. Bukan kebahagiaan yang diraihnya, namun kekecewaan yang mendalam.
Kepada pasangan menikah yang belum dikaruniai anak, seringkali dihadang dengan pertanyaan, “Kapan punya momongan?”
Parahnya pertanyaan lama-lama mulai bernada sinis dari orang-orang yang merasa dirinya lebih beruntung daripada orang yang ditanyai. Sepertinya penanya merasa lebih tahu dari Tuhan tentang arti bahagia.
“Kok belum-belum punya momongan? Sengaja ditunda yah? KB yah? Kenapa ditunda? “ Dan banyak lagi pertanyaan yang tidak penting untuk dijawab.
Tidak sedikit pasangan yang bubar jalan saat kelahiran anak pertama. Saya tidak bermaksud untuk mengeneralisasi kasus ini. Namun ini hanya sebagai contoh.
“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Albaqarah:216)
Jangan membuat standar kebahagiaan sendiri hingga mendahului Allah. Allah Maha Tahu Yang Terbaik untuk kita semua.
Saya yakin setelah kelahiran anak pertama akan ada lagi pertanyaan lain yang siap menghadang dari seluruh penjuru mata angin.
Kapan nih si sulung punya adik? Kapan menyekolahkan? Kapan anaknya jadi sarjana? Kapan menikahkan anaknya? Kapan punya cucu? Dan lain sebagainya.
Hingga pertanyaan berikutnya saat kita di usia uzur adalah, “Kapan nih mati? Kan udah bangkotan, cepetan deh sana! Kuburan dah menanti loh”
Jodoh, kelahiran, dan kematian adalah sebagian dari suratan takdir yang tidak dapat diganggu gugat. Allah telah menyiapkan waktu yang tepat untuk perihal itu. Kalau cepat atau tidaknya seseorang menikah, punya anak-cucu dianggap sebagai sebuah prestasi membanggakan yang merupakan standar kebahagiaan hidup seseorang. Seperti halnya lulus SD/SMP/SMA/Kuliah. Maka seharusnya KEMATIAN juga merupakan sebuah standar kebahagiaan hidup seseorang. Semakin cepat mati semakin baik, sama seperti kasus semakin cepat menikah, punya anak, dll semakin baik.
Jangan pernah menjalani hidup demi untuk menjawab pertanyaan orang! Hanya pecundang yang berlaku begitu. Begitu pun hanya orang-orang kerjaan yang menanyakan hal itu.
Ukuran kebahagiaan seseorang tidak sama satu sama lain. Rezeki seseorang tidak sama satu sama lain. Namun setiap orang bisa berbahagia bila mampu mensyukuri setiap detik yang diberikan Allah kepada kita. Pernikahan, kehamilan, kelahiran, kematian, dll akan indah pada waktunya.
Saya pasti akan segera hamil tetapi bukan untuk menjawab pertanyaan orang perihal ‘kapan hamil?’. Tetapi pada saat yang tepat menurut Allah. Karena saya juga tidak mau dipaksa untuk segera MATI oleh orang-orang gila kurang kerjaan.
“Jadi kapan nih mati???”
(Disclaimer: Rubrik “Jakarta Kita” adalah kumpulan artikel non formal yang lebih bersifat opini atau fiksi bukan bagian dari berita resmi jakartakita.com)