Penguatan Rupiah pada awal minggu ini merupakan berita baik namun masih rentan. Ini disebabkan penguatan tersebut berasal dari faktor-faktor yang “berefek sementara” terhadap penguatan Rupiah.
Faktor pertama, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat belum sesuai dengan harapan. Dampak kondisi ini sangat sementara terhadap penguatan Rupiah sebab bila ekonomi Amerika Serikat kemudian tumbuh sesuai harapan maka Rupiah bisa saja tertekan kembali.
Faktor kedua, sentimen positif pasar terhadap rencana Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III. Bergulirnya tiga paket kebijakan berturut-turut baik untuk menguatkan Rupiah dan telah terbukti. Namun, bilamana Pemerintah terlalu jor-joran dalam merilis paket kebijakan ekonomi untuk mengendalikan Rupiah maka ke depan Indonesia akan kehabisan peluru bila menghadapi situasi serupa dan dapat memberikan efek terbalik jika paket-paket tersebut tidak jalan.
Selain itu, apabila paket-paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan lebih banyak dimanfaatkan oleh asing maka dalam jangka panjang perekonomian Indonesia semakin terjajah hingga semakin mereduksi kemandirian ekonomi bangsa.
Faktor ketiga, intervensi Bank Indonesia di pasar spot valas. Intervensi ini cenderung merupakan tindakan reaktif, bukannya preventif. Ini membuat Bank Indonesia terpaksa mengeluarkan cadangan devisa ekstra untuk menahan laju pelemahan Rupiah bila pasar valas bergejolak. Akibatnya cadangan devisa Bank Indonesia dapat tergerus lebih jauh.
Pada dasarnya, pengendalian Rupiah yang efektif adalah kebijakan preventif, baik pada sisi penawaran dan permintaan di pasar valas. Saat ini, Indonesia mengalami penurunan penawaran valas terutama US Dollar sebagai akibat penurunan ekspor dan semakin banyak dana hasil ekspor yang ditahan di luar negeri. Di sisi permintaan, tekanan pembelian US Dollar masih besar, baik untuk transaksi impor, pembayaran utang luar negeri, maupun spekulasi.
Kebijakan Kementerian Keuangan untuk memberikan diskon Pajak Penghasilan atas Deposito hasil ekspor dapat dikatakan sebagai tindakan preventif di sisi penawaran. Lewat kebijakan ini diharapkan semakin banyak hasil ekspor yang balik ke Indonesia untuk menambah penawaran valas. Namun demikian, efektivitas kebijakan ini perlu dievaluasi dalam satu hingga tiga bulan ke depan, apakah terjadi peningkatan signifikan deposito dari hasil ekspor pada perbankan nasional.
Di sisi permintaan, Bank Indonesia telah melakukan kebijakan untuk menekan permintaan US Dollar lewat Kebijakan Transaksi dalam Rupiah serta menurunkan batas maksimum pembelian US Dollar. Namun kedua kebijakan tersebut ternyata belum efektif dimana setelah beberapa waktu ditetapkan, Rupiah tetap melemah. Penyebab utamanya adalah pengawasan dan pemberian sanksi bagi pelanggar yang belum optimal serta baru menyentuh transaksi-transaksi kecil.
Untuk mendapat hasil yang lebih besar dalam menekan permintaan US Dollar adalah mencegah BUMN membeli US Dollar di pasar valas dalam rangka pembayaran utang dan transaksi impor.
Di sini, Bank Indonesia perlu menerima hedging atas utang dan transaksi impor BUMN dengan kurs lebih rendah dari kurs pasar. Misalnya, untuk forward pembelian US Dollar satu bulan diberikan kurs Rp 13.800 per USD. Kebijakan ini dapat juga menjadi “sinyal” bagi pasar bahwa target kurs Bank Indonesia untuk satu bulan ke depan sebesar angka tersebut sehingga mendorong para spekulan menjual US Dollar mereka.
Untuk mencegah penyalahgunaan kebijakan hedging tersebut oleh BUMN untuk tujuan spekulasi, maka hedging tersebut perlu didukung dengan bukti-bukti utang yang akan jatuh tempo maupun transaksi impor yang akan dilakukan. Selain itu, kebijakan ini perlu memasukan sanksi bagi BUMN yang membeli US Dollar di pasar valas untuk maksud yang sama. Dengan kebijakan ini maka potensi penguatan Rupiah terhadap US Dollar semakin besar.***
Penulis : Agus Tony Poputra, Staf Pengajar Universitas Sam Ratulangi