Di hari yang belum subuh hati Mirah gusar. Waktu ijab Kabul tinggal beberapa jam lagi. Hati Mirah dihinggapi oleh segenap perasaan aneh yang membuncah.
Tentu saja Mirah bahagia akhirnya akan segera menikah dengan pemuda pilihan hatinya. Asni, tak hanya pemuda yang tampan, dia juga soleh dan jago silat. Pencarian Mirah akan sesosok.
Mirah duduk di ujung ranjang. Di kamar itulah Mirah tumbuh dari anak yang masih polos menjadi remaja. Kemudian beranjak dewasa di ujung seperempat abad.
Mirah memandang sekeliling dengan berlinang air mata. Mirah ingat persis kalau di kamarnya ini pula Mirah pernah menangis. Di kamar itu pula, Mirah pernah tertawa bahagia atas sekian banyak kebahagiaan yang menghampirinya. Kamar itu menjadi saksi hidup perjalanan seorang gadis saat menapaki hidup yang penuh warna. Setelahnya hanya memorabilia tak berpenghuni.
Tok! Tok! Tok!
“Mirah, sudah bangun? Boleh enyak masuk?”
“Udah enyak. Masuk aja!”
Enyak masuk dan duduk di samping Mirah. Enyak merangkul Mirah erat. Menyalurkan kehangatan khas seorang ibu. Enyak menatap wajah Mirah dan membaca sesuatu.
“Loh kenapa? Bukannya ini yang dinanti-nanti anak perawan?” tanya enyak.
“Gak tau nih enyak, gundah,” bisik Mirah.
“Gundah? Mirah…Mirah.. Semua perawan pasti pernah berada di posisi lo. Enyak juga.”
“Tapi, rasanya aneh,” keluh Mirah, “Mirah sudah lama menantikan ini. Insya Allah, Mirah siap lahir batin. Tapi….”
Enyak mengangguk-angguk. “Masih ragu sama Asni?” tanya enyak dengan sorot mata tajam.
Mirah menggeleng, “Enggak ah enyak. Asni baik, baik banget. Ganteng pula,” jawab Mirah demi menepis prasangka buruk sang enyak, “tapi….”
“Soal Tirta?” tebak enyak sambil menatap Mirah dengan tatapan menyelidik.
“Nah itu dia nyak…Mirah takut kalau Tirta buat ulah…”
“Nah pan emang itu yang diarepin babeh lo sama anak buahnye…”
“Iya sih…tapi Mirah takut aja kalau ada yang celaka. Babeh, atau malah Asni…”
Enyak pun tersenyum menyejukkan, “udah kagak usah dipikirin. Insya Allah semua berjalan sesuai rencana. Kagak ada yang perlu lo takutin. Babeh lo sama anak buahnya udah memikirkan ini semua matang-matang”.
“Insya Allah, semuanya akan baik-baik saja. Udah sono buruan mandi! Keburu rombongan pengantin dan penghulu datang. Pan lo mesti didandanin segala”. Enyak mengingatkan Mirah.
Mirah berpelukan sekali lagi sebelum akhirnya sang enyak meninggalkan Mirah sendirian. Tanpa membuang waktu, Mirah segera mengambil handuk dan menuju sumur untuk mandi. Selang beberapa menit kemudian, Mirah selesai mandi. Mirah pun segera berganti pakaian dengan pakaian kebesaran pengantin Betawi.
Hati Mirah masih berdebar kencang. Mirah berusaha menenangkan diri dengan melafalkan beberapa ayat suci sebelum saudara-saudara perempuan masuk kamar membantunya untuk bersolek sembari menunggu rombongan pengantin dan penghulu tiba.
Tiba-tiba suara petasan berbunyi menandai kedatangan rombongan Asni diiringi dengan musik khas Betawi. Hati Mirah semakin berdebar kencang. Mirah tak boleh keluar rumah, ia harus tetap di dalam hingga prosesi palang pintu selesai.
Prosesi yang diawali dengan aksi berbalas pantun antara perwakilan keluarga calon pengantin pria dan keluarga Mirah. Kemudian Asni harus bisa mengalahkan para jawara anak buah Bang Bodong yang siap menghadang Asni sebelum masuk ke dalam rumah keluarga Bang Bodong.
Tentu saja Asni dengan mudah mengalahkan para anak buah Bang Bodong. Maka Asni dan rombongan keluarga diperbolehkan untuk masuk sambil membawa aneka seserahan untuk calon pengantin perempuan.
Mirah mengambil tempat di ruang tengah bersama kaum perempuan. Rombongan pengantin laki-laki, bersama Bang Bodong dan keluarga, penghulu, dan para tetangga sudah siap di ruang tamu. Asni duduk di depan meja kecil berhadapan dengan Bang Bodong, penghulu, dan saksi dari pihak keluarga.
Jantung Mirah semakin berdebar kencang. Keringat dingin mengucur hampir membuat riasan Mirah di balik rumbai-rumbai hiasan yang menutup wajahnya luntur. Mirah menunduk sambil melafal doa agar diberi ketenangan jiwa agar akad nikah ini berjalan lancar. Sesekali, Mirah mencuri pandang ke arah Asni yang tak kalah gundah di ruang tamu.
“Saya nikahkan putri saya Mirah Binti Bodong dengan Asni dengan mas kawin seperangkat perhiasan emas tunai.”
“Saya terima nikahnya Mirah binti Bodong dengan mas kawin seperangkat perhiasan emas tunai.”
“Sah?”
“Sah!”
“Sah!”
“Alhamdulillah!” ucap yang lain hampir serempak. Sang penghulu melafalkan doa-doa. Air mata yang tadi sempat ditahan Mirah akhirnya tumpah juga. Air mata ungkapan dari perasaan sukacita dan haru biru yang tak terlukiskan. Semua berpadu menjadi satu. Semua orang memberi Mirah ucapan selamat, memeluk, dan menciumnya. Alhamdulillah, detik itu juga Mirah telah sah secara hukum agama sebagai istri Asni.
Mirah dituntun oleh para perempuan untuk bersanding di samping pengantin pria. Semua orang memandang Mirah takjub, terutama Asni yang hampir tidak berkedip menatap Mirah dalam balutan baju kebesaran pengantin Betawi.
Mirah pun duduk di sisi Asni dan mencium tangannya sebagai ungkapan rasa hormat dari seorang istri kepada sang suami. Asni menyelipkan cincin ke jari manis tangan kanan. Semua pasang mata ikut terharu memandang kami dua insan yang sedang berbahagia.
Seketika itu pun musik gambang kromong mengalun menandai pesta syukuran pernikahan Mpok Mirah dari Marunda dan Asni dari Kemayoran telah dimulai. Lenong dan tari-tarian betawi semalam suntuk.
Dan seperti rencana yang telah disusun matang oleh Bang Bodong dan anak buahnya. Tirta yang mendengar gadis pujaan hatinya menikah dengan orang lain pun datang sebagai tamu yang tak diundang di pesta tersebut..
Namun saat Tirta hadir di pesta tersebut, dia merasa curiga dan melihat gelagat yang aneh. Dia melihat dibarisan tamu undangan ada Babah Yong dan Tuan Ruys kepala keamanan dari pihak kompeni. Melihat keselamatannya terancam, Tirta pun angkat kaki dari pesta Mirah dan mencoba lari.
Dari atas panggung pelaminan Mirah dan Asni melihat Tirta akan kabur, cepat-cepat mereka turun. Dan Bang Bodong beserta anak buahnya pun ikut mengejar Tirta yang akan kabur. Setelah pengejaran yang melelahkan akhirnya Tirta dapat dihadang oleh Mirah dan Asni. Terjadilah baku hantam diantara mereka. Dua lawan satu. Akhirnya Tirta tersudut dan saat sedang lengah dan payah, Tirta pun ditembak di tempat oleh kompeni Belanda Tuan Ruys dengan pistol. Tirta rubuh dan jatuh menghempas tanah.
Sebelum Tirta menghebuskan nafas untuk terakhir kalinya. Tirta sempat menyampaikan sesuatu rahasia kepada Asni,
“Asni, asal lo tau aje, sebenernya kita berdua sodare, cuma laen ibu. Lo beruntung bise dapetin Mirah. Udah cantik, soleha, baek pula. Tolong jaga dan bahagiain Mirah, buat gue. Gue juga cinte ame dia. Cuma takdir lebih memihak ke lo…”
Betapa terkejutnya Asni mendengar pengakuan dari saudara kandungnya lain ibu. Asni pun berupaya dengan segala cara menyembuhkan luka Tirta. Namun semuanya sudah terlambat. Tirta pun mati setelah kehilangan banyak darah. Asni pun menangis.
Ternyata Asni dan Tirta adalah saudara sebapak lain ibu. Tirta tinggal dengan ibunya di Karawang. Sedang Asni tinggal dengan bapaknya di Kemayoran. Meski bersaudara keduanya sungguh jauh berbeda. Asni anak soleh, gemar mengaji dan terkenal baik di kampungnya. Sedang Tirta doyan mabok, tukang buat onar, dan segala hal buruk lainnya. Sebelum ibunda Tirta meninggal, ia sempat mengatakan cerita yang sekian lama disimpannya tentang keberadaan sang ayah kandung di Kemayoran, juga tentang Asni. Makanya Tirta bisa menceritakan ke Asni.
Setelah kejadian itu, Mirah dan Asni melanjutkan pesta penikahannya. Selepas menikah, Asni pun memboyong Mirah ke kampungnya di Kemayoran. Di sanalah keduanya menghabiskan sisa usianya, bahagia bersama anak cucu.