Jakartakita.com – TPP (Trans Pacific Partnership) merupakan sebuah perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 5 Oktober 2015 oleh 12 negara; Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia, Selandia Baru, Singapura, Malaysia, Brunei, Vietnam, Meksiko, Chili, dan Peru.
Perjanjian yang disponsori Amerika Serikat ini, sebaiknya Indonesia tidak bergabung, karena diyakini cenderung makin menjauhkan dari pelaksanaan ekonomi berbasis konstitusi-UUD 1945 dan menyulitkan pencapaian kesejahteraan rakyat.
Demikian benang merah diskusi bulanan Aliansi Kebangsaan yang berlangsung di Sultan Residence 2, Jakarta, Jumat (13/11/2015) lalu.
Ekonom Lemhanas dan Guru Besar IPB, Prof. Didin S Damanhuri mengatakan, Pemerintah mestinya memaksimalkan dan memanfaatkan perjanjian yang sudah ditandatangani untuk lebih memacu ekspor, terutama dalam AFTA dan MEA, serta upaya serius membangun daya saing industri dalam negeri.
“Bergabung dengan TPP mudhorotnya jauh lebih besar, karena secara netto, justru akan mematikan banyak pelaku industri dalam negeri, makin membanjirnya barang dan jasa impor, menimbulkan PHK, menambah defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan dan akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi,” jelas Didin.
“Pemerintah harus mengupayakan penurunan kemiskinan, pengangguran. Jangan sampai TPP ini membuat Pemerintah terkecoh karena peluang ekspor sektor tertentu, namun merugikan sektor lain, terutama bagaimana mencapai kemandirian dan keberdaulatan ekonomi demi kesejahteraan Rakyat seperti visi besar Jokowi-JK dengan Nawa Cita dan Trisakti-nya,” sambungnya.
Begawan ekonomi dari Universitas Indonesia, Prof. Emil Salim yang turut hadir dalam diskusi tersebut, mengatakan TPP sangat berat pada free trade dan liberalisasi ekonomi. Berbeda sekali dengan sistem ekonomi Pancasila.
Oleh karena itu, Emil menyarankan kepada Pemerintah Indonesia untuk mengkaji ulang dan kalau perlu melakukan penolakan terhadap tawaran untuk mengikuti TPP ini.
“TPP sangat berat pada trade dan liberalisasi ekonomi, negara seperti Singapura domestik marketnya terbatas, sehingga membutuhkan pasar. Adapun negara Vietnam masih lebih bagus karena diapit oleh RRT dan ada Laut China Selatan. Vietnam lebih aman karena ada di tengah antara Amerika dan China. Kepentingan teman ASEAN itu, menyampingkan kepentingan ASEAN sebagai negara berkembang untuk pengembangan kepentingan ekonomi diri sendiri. Basis ASEAN sudah mulai retak, karena leadership ASEAN sudah tidak ada. Padahal zaman Soeharto, Indonesia adalah leader dari Asia-Pacific baik Ekonomi maupun kebudayaan,” paparnya.
Lebih lanjut Emil menjelaskan, sekarang ini, Indonesia masih banyak Pekerjaan Rumah yang perlu diatasi. “Kita perlu meningkatkan level playing field kita di ASEAN. Hambatan utama di Indonesia ini adalah politik. Politik terkait juga dengan fundrising. Politisi di Indonsia saat ini tidak memikirkan jangka panjang pembangunan Indonesia, sehingga terjadi masalah ketimpangan dan keadilan sosial yang belum terwujud sesuai apa yang dikehendaki dalam Pancasila. Yang belum kita lakukan adalah bagaimana menerjemahkan ekonomi Pancasila itu dalam realitas kebijakan untuk kemandirian ekonomi,” bebernya.
Namun demikian, mantan Menteri Lingkungan Hidup pada era Orde Baru ini, menegaskan, Presiden Jokowi belum memutuskan Indonesia bergabung dengan Trans Pacific Partnership (TPP).
Menurut Emil, Presiden Jokowi masih mempertimbangkan dan masih ingin mendengar masukan dari banyak pihak. Karena itu, ia berharap pihak-pihak yang menentang Indonesia masuk ke TPP itu, memberi masukan kepada Jokowi agar mengurungkan niat membawa bangsa ini bergabung ke TPP tersebut.
“Jokowi belum mengambil keputusan. Ia masih mendengar masukan dari banyak pihak. Karena itu, yang menolak gagasan itu harus memberi masukan kepada Jokowi. Karena saya tahu, orang-orang di sekitar Jokowi mendorongnya agar Indonesia masuk ke TPP,” tandasnya, tanpa menyebutkan orang-orang dekat yang ia maksudkan.