Jakartakita.com – Ba’da Jumat (11/12/2015), bertempat di Hotel Sultan Jakarta, berlangsung diskusi bulanan yang digelar oleh Aliansi Kebangsaan. Tema yang diangkat kali ini adalah “Kasus Freeport dan Penataan Ulang Pengelolaan Sumber Daya Alam”.
Hadir sebagai pembicara, penggagas Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, Cendikiawan Papua, Hidayat Alhamid, Aktivis Jaringan Tambang, Siti Maimunah dan Cendekiawan dari Aliansi Kebangsaan, Prof. Dawam Rahardjo.
Secara umum, para pembicara mengkritisi permasalahan yang terjadi akibat negara selama ini ‘salah urus’ dalam mengelola sumber daya alam di Tanah Air. Bahkan data-data yang dibeberkan dalam presentasi oleh para pembicara membuat miris dan prihatin, dengan banyaknya kerusakan lingkungan sampai pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah yang terdapat eksploitasi SDA.
“Bukan hanya di kasus Freeport saja, pengelolaan sumber daya alam dibanyak daerah lain di Tanah Air pun tidak berhasil mensejahterakan rakyat disekitarnya. Jauh menyimpang dari amanat Pasal 33 UUD 1945 yang disusun oleh para pendiri negara,” kata Aktivis Jaringan Tambang, Siti Maimunah.
Hal senada juga disampaikan Cendikiawan Papua, Hidayat Alhamid yang menegaskan keberadaan tambang Freeport justru malah semakin memiskinkan rakyat Papua.
“Padahal, dalam pasal 33 UUD 1945 dikatakan bahwa tambang harus dikuasai oleh negara dan harus bisa memakmurkan masyarakat. Namun kenyataannya, hasil eksploitasi tambang tidak jatuh ke tangan masyarakat,” tegasnya.
Lebih tegas lagi dikatakan Cendekiawan dari Aliansi Kebangsaan, Prof. Dawam Rahardjo. Ia menilai, Indonesia gagal total dalam mengelola sumber daya alam (SDA) yang dimiliki, terutama di sektor pertambangan dan minyak & gas bumi (migas). Pasalnya, pengelolaan SDA yang dilakukan selama ini, sama sekali tidak memberikan pendapatan serta multiplier effect yang positif bagi negara, khususnya masyarakat Indonesia.
“Selama 70 tahun Indonesia merdeka, pengelolaan tambang tidak memperkaya masyarakat Indonesia. Saya katakan Negara telah gagal total. Hasil SDA yang semestinya membuat sejahtera justru malah membuat petaka,” tegasnya.
Menurut Dawam, hal tersebut disebabkan karena eksplorasi tambang yang dilakukan selama ini hanya menghasilkan tiga hal.
“Hipotesa saya adalah tambang itu mau Freeport atau yang lainnya, itu umumnya hasilnya itu lari ke tiga hal. Pertama masuk ke WC, kedua habis terpakai, ketiga mengalir ke luar negeri,” tegasnya.
Selama ini, lanjut dia, pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia umumnya dilakukan oleh pihak asing. Mereka hanya mencari bahan mentah dari Indonesia.
“Mereka kan prinsipnya cari bahan mentah di negara berkembang yang harganya murah. Dan, kita kasih murah. Kita jual dalam bentuk tidak diolah. Jadi, tidak memberikan nilai tambah, kita ekspor begitu saja. Enggak ada nilai tambahnya. Bahkan kita yang membayar nilai tambah,” katanya.
Jadi sampai sekarang pun Freeport itu tidak membuat sesuatu dalam bentuk apapun. Smelter yang untuk menjadikan bahan galian menjadi bahan mutu standar pun tidak.
“Jadi prinsipnya begitu. Mereka bikin dalam bentuk row material yang begitu saja, terus diolah di luar negeri, mereka yang mengindustrialisasikan,” jelasnya.
Ditambahkan, bangsa Indonesia tidak perlu ragu jika suatu ketika misalkan keberadaan PT Freeport tidak diperpanjang. “Kita ini bangsa besar. Kita pasti bisa (mengelola – Red)! Kita punya banyak SDM yang mumpuni. Jangan khawatir!” pungkasnya.