Saya lahir dan besar di kota Jakarta. Angkutan umum sudah menjadi sahabat saya sejak kecil dalam bepergian. Namun, entah mengapa semakin kesini, angkutan umum di Jakarta tampak semakin menyeramkan. Berita-berita soal penjambretan, pelecehan seksual hingga pemerkosaan dalam angkot membuat saya semakin bergidik ngeri.
Bukan berarti saya hanya termakan isu soal beragam tindak kejahatan di angkot. Namun saya yang merupakan pengguna angkot juga sudah sering mengalami sendiri. Saya sudah kenyang aneka modus copet di angkot. Dari mas-mas ganteng berpakaian ala kantoran dengan tas punggung ‘segede gaban’, tukang pijat dadakan, bapak-bapak yang membawa burung ajaib dalam sangkar cukup besar, emak-emak rempong yang mendadak mual-mual, sampai mereka yang terkesan polos dan ramah.
Beberapa kali saya memergoki tangan usil yang sudah masuk ke dalam kantong, tas saya demi merogoh apa saja yang bisa dicopet. Beberapa kali saya memergoki komplotan copet beraksi ‘mengerjai’ calon korban. Kemudian saya sengaja membuka badge Pers saya demi menakut-nakuti copet, dan berhasil mereka pun mengurungkan niatnya dan segera turun dari angkot. Dan sekali waktu saya apes, iPhone seri terbaru yang saya punya raib jadi santapan copet sialan di kereta commuter line. Saya pun jadi semakin ogah naik angkutan umum kalau tidak terpaksa.
Sehari-hari saya memang menggantungkan diri pada kendaraan pribadi atau taksi. Dengan semakin berkembangnya aplikasi ponsel pintar, saya pun semakin dipermudah. Kalau sebelumnya harus repot menelpon berkali-kali demi memesan taksi. Kini hanya tinggal pencet-pencet di layar ponsel pintar. Praktis! Dan taksi pun datang tanpa perlu repot memberi tahu jalan menuju ke rumah, karena GPS sudah membantu.
Selain pengguna aplikasi taksi Blue Bird, saya juga pengguna Grab Taxi. Namun belakangan saya sering kecewa, karena banyaknya perusahaan taksi yang bergabung di Grab Taxi. Seringkali saya terpaksa harus naik taksi ‘busuk’ lengkap dengan paket nyamuk di dalam mobil. Alhasil, naik taksi bukannya nyaman malah capek nepokin nyamuk.
Setelah ada Go-Jek, saya semakin terbantu lagi. Apalagi saya, ibu beranak satu yang sering berduaan saja di rumah. Seringkali mendadak ‘kabibita’ alias kepengen makan ini-itu tapi malas jalan. Sebelumnya saya sering meminta bantuan satpam komplek untuk membelikan makanan. Namun, tentu saja meminta tolong orang yang kita kenal malah jadi serba gak enak. Akhirnya ongkos membelikan jadi ‘over-priced’. Beli martabak satu ya paling tidak kasih satu martabak juga buat pak satpam. Nah, dengan adanya Go-Jek, saya bisa bebas meminta tolong membelikan apa saja di mana saja dengan tarif pas yang dijamin murah.
Tak hanya minta tolong Go-Jek membelikan sesuatu. Saya juga sering memakai Go-Jek untuk mengantar dokumen atau paket yang harus segera dikirim. Pasalnya, kalau menggunakan kurir sungguhan butuh waktu paling tidak dua hari hanya untuk dalam kota. Dan dengan Go-Jek hanya butuh maksimal dua jam. Dan saya pun hanya butuh pencet-pencet di ponsel pintar. Bisa sambil tiduran atau bahkan nongkrong di WC. Praktis!
Dan tentu saja, Go-Jek adalah ‘dewa penolong’ untuk menerjang macet di ibu kota. Sejak kemacetan Jakarta kian parah, saya memang jadi suka menggunakan ojek. Namun beberapa tahun belakangan saya sedikit trauma naik ojek pasca kecelakaan parah akibat pengemudi ojek yang ugal-ugalan. Belum lagi ongkos yang ditawarkan ojek pangkalan sering kali lebih mahal dari taksi. Maka, kehadiran Go-Jek dan kawan-kawannya lagi-lagi menjadi solusi.
Saya juga pengguna aplikasi Uber Taxi dan Grab Car. Siapa yang tak suka bepergian mobil pribadi, dengan supir pribadi namun ongkosnya ala angkutan umum? Ditambah embel-embel aman pula!
Ya semenjak ada Uber Taxi dan Grab Car saya jauh merasa aman dan nyaman menggunakan moda transportasi yang dianggap ‘taksi bodong’ oleh Kemenhub ini.Saya tidak perlu merogoh kocek dalam untuk mendapatkan layanan transportasi layaknya mobil pribadi.Takut dibawa lari supir? Insya Allah aman! Karena rute perjalanan saya terpantau dari pusat.
Kalau tiba-tiba Kemenhub mesti melarang ‘dewa penolong’ warga ini hanya karena tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan, yang menyebutkan “Ketentuan angkutan umum adalah harus minimal beroda tiga, berbadan hukum dan memiliki izin penyelenggaraan angkutan umum”.
Mungkin undang-undangnya yang harus direvisi mengikuti perkembangan zaman. Lagi pula ini zaman online bukan zaman batu. Semua serba online! Mungkin persepsi Kemenhub yang mesti diubah. Memangnya situ sudah yakin transportasi umum di bumi Indonesia, khususnya Jakarta sudah cukup baik? Kalau belum, ya lebih baik transportasi berbasis aplikasi online ini dibina sambil dibenahi.
Kalau Go-Jek dan kawan-kawannya dilarang beroperasi. Lantas siapa yang mau beri makan ribuan pengendara yang menggantungkan nasib dari Go-Jek? Situ bisa sediakan lapangan kerja untuk segitu banyak orang?
(Disclaimer: Rubrik “Jakarta Kita” adalah kumpulan artikel non formal yang lebih bersifat opini atau fiksi bukan bagian dari berita resmi jakartakita.com)