Jakartakita.com – Laporan Pembangunan Manusia 2015 yang dirilis Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada 15 Desember lalu, menyebut Indonesia berada pada ranking 110 dari 188 negara dalam hal Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Ini adalah tahun ketiga posisi IPM Indonesia jalan di tempat. UNDP menggarisbawahi ketimpangan sebagai penyebab stagnasi IPM Indonesia.
Peneliti kebijakan sosial dari Perkumpulan Prakarsa, Victoria Fanggidae, mengatakan bahwa kondisi tersebut tidak mengejutkan, karena elemen penting pembangunan manusia seperti kesehatan, sudah menunjukkan tanda kurang menggembirakan beberapa tahun terakhir.
Victoria mencontohkan bahwa dalam hal status gizi, ketimpangan antar wilayah dan kelas sosial juga tinggi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa sementara seperlima balita Indonesia menderita gizi buruk dan kurang, 4,5% balita sudah mengalami gizi lebih. Di NTT, sepertiga balita menderita gizi kurang dan buruk, tiga kali lipat lebih banyak daripada di Bali. Sepertiga balita Indonesia mengalami stunting dan 42% diantaranya adalah anak petani/nelayan/buruh berpendidikan setingkat SD atau kurang.
Perhitungan kemiskinan multidimensi Perkumpulan Prakarsa tahun 2014 juga menunjukkan tren memburuknya asupan gizi balita dalam 3 tahun terakhir.
“Ini artinya satu keluarga miskin hari ini bisa melahirkan 5 atau lebih keluarga miskin masa depan. Kita hanya akan menunggu ledakan bom waktu ketidakpuasan sosial. Mobilitas sosial ke atas tidak terjadi karena kebijakan dan program sosial belum menjawab persoalan ketimpangan,” ujar Victoria, dalam siaran pers yang diterima Jakartakita.com, baru-baru ini.
“Jika pemerintah meluncurkan berbagai paket stimulus kebijakan ekonomi agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terpuruk, bagaimana dengan paket kebijakan sosial agar kualitas manusia Indonesia tidak stagnan dan timpang? Manusia merupakan penggerak ekonomi itu sendiri, namun belum ada paket kebijakan sosial berarti dari pemerintahan sekarang,” sambungnya.
Menurutnya, rakyat bosan dengan kebijakan “peningkatan kualitas sumber daya manusia” yang tidak memperbaiki kapabilitas manusia dan mengurangi ketimpangan. Rakyat menunggu paket kebijakan sosial yang ‘tidak bersayap’ namun mampu menjawab persoalan.
“Kami merekomendasikan kebijakan yang jelas mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan wilayah dan kelas sosial. Misalnya, program asupan makanan bergizi untuk balita melalui food stamp atau voucher paket pangan bergizi untuk balita NTT atau Papua, atau untuk anak buruh tani dan garmen miskin di Jawa. Program pemberian makanan bergizi untuk ibu hamil dari keluarga miskin juga perlu menjadi prioritas. Agar orang miskin kota tidak gampang terjangkit penyakit, perlu percepatan pembangunan infrastruktur dan waste management di kampung kumuh,” beber Victoria.
“Tetapkan target ketat untuk pencapaian program dan kebijakan sederhana seperti ini, karena kalau banyak jargon dan kata bersayap, pejabat yang bertanggung jawab akan mudah berkelit jika gagal,” tandas Victoria.