Pidato Ketua Umum PDIP Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, bahwa BUMN telah dijalankan bagaikan korporasi bisnis merupakan kondisi dilematis yang dihadapi BUMN di Indonesia.
Kondisi BUMN Indonesia bagaikan bandul yang berayun dari satu kutub ke kutub yang lainnya. Pada pemerintahan Orde Baru, BUMN dijadikan “sapi perah” untuk kepentingan rezim dan dijadikan Sinterklas untuk membagi-bagikan hadiah dalam rangka mengambil hati rakyat.
Pada era itu, fungsi bisnis sesungguhnya dari BUMN hampir tidak tersentuh karena BUMN umumnya tidak memiliki manajemen yang mampuni. Kebanyakan hanya sekedar menjadi tempat penampungan para pensiunan pejabat negara yang tidak mempunyai kemampuan bisnis. BUMN saat itu umumnya berjalan terseok-seok, hanya mengandalkan sumber daya alam yang dikuasai serta proteksi pemerintah.
Saat Indonesia mengalami krisis tahun 1998, BUMN justru menjadi beban, bukannya menjadi superhero untuk menyelamatkan kondisi ekonomi negara.
Pada awal Orde Reformasi, kondisi BUMN lebih memilukan dimana bagaikan anak yang terus digendong sebelumnya, kemudian dilepas begitu saja untuk mengikuti lomba lari melawan perusahaan multinasional. Akibatnya banyak BUMN yang mengalami kebangkrutan dan beberapa aset BUMN yang masih baik dijual untuk menutup utang negara.
Pada era pemerintahan Jokowi-JK, bandul BUMN berayun ke kutub lainnya, yaitu kutub bisnis. Tidak ada yang salah dengan hal ini, sebab sebagai “Badan Usaha”, BUMN harus menghasilkan keuntungan yang menjadi sumber penerimaan negara dan bukan menjadi beban negara lewat subsidi yang tidak perlu. Di sini bukan berarti Penanaman Modal Negara (PMN) tidak diperlukan. PMN diperlukan sepanjang BUMN dapat menghasilkan laba yang lebih besar yang menjadi sumber penerimaan negara dan sarana menjalankan tanggung jawab sosialnya.
Namun demikian, BUMN juga menyandangkan status “Milik Negara”, maka tujuan, strategi, dan kebijakan BUMN harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial yang dibebankan Negara. Utamanya mendorong terciptanya kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, BUMN harus mampu menjalankan tanggung jawab laba dan sosial secara optimal sehingga tidak saling merugikan.
Sesungguhnya tanggung jawab sosial tidak sepenuhnya dibebankan kepada BUMN. Perusahaan besar, baik domestik maupun asing yang menguasai porsi besar dari sumber-sumber ekonomi negara seharusnya diberikan tanggung jawab sosial untuk meningkatkan kehidupan masyarakat terutama di sekitar kegiatan usaha mereka sesuai dengan prinsip “Warisan” dan prinsip “Keadilan.”
Pada hakikatnya, dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, BUMN jangan diperlakukan sebagai Sinterklas. Sebaliknya, BUMN harus mampu melibatkan sebanyak mungkin masyarakat dan pelaku usaha, baik sebagai pemasok tenaga kerja maupun sebagai pemasok bahan baku dan saluran distribusi bagi BUMN.
Lebih jauh lagi, BUMN jangan dijadikan sarana pemanjaan masyarakat. Ini akan sangat destruktif dalam jangka panjang dimana akan menciptakan pertumbuhan ekonomi serta peningkatan kesejahteraan yang tidak berkesinambungan.
Untuk meningkatkan tanggung jawab sosial tanpa mengorbankan tanggung jawab bisnis BUMN, pemerintah perlu menjadikan BUMN sebagai “mesin penggerak” kemandirian industri dalam negeri. Ini dilakukan lewat hubungan Inti-Plasma antara BUMN dengan usaha menengah dan kecil yang berada dalam mata rantai industri masing-masing BUMN.
Apabila kebijakan ini dilakukan dengan konsisten maka dapat mencapai beberapa tujuan sekaligus, yaitu: (1) mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor; (2) dapat memperkuat industri dalam negeri; (3) dapat meningkatkan kemampuan usaha kecil dan menengah; (4) BUMN dapat mencapai laba yang lebih besar; serta (5) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam pengembangan strategi Inti-Plasma, maka BUMN perlu diproteksi terhadap campur tangan “pengejar rente”. Kelompok ini akan senantiasa berusaha mendorong agar hal ini tidak terjadi agar mereka tetap dapat memperoleh “pendapatan” dari impor yang berkelanjutan.
Penulis : Agus Tony Poputra, Ekonom Universitas Sam Ratulangi Manado