(Seperti yang dituliskan oleh Farhan Noor Rachman di akun Facebook-nya)
Driver Gojek Dan Perjuangan
Malam ini saya cukup lama menunggu driver Gojek, pasalnya dia ada di seberang kantor, jika memutar lewat perempatan Kuningan mungkin butuh waktu 20 menit.
Awalnya saya hendak membatalkan order karena saya harus bergegas ke Stasiun,
“Pak Jangan Cancel Ya! Saya secepatnya datang, kira-kira 15 menit”
Bekerja di Call Center membuat saya mampu menganalisa beragam suara orang. Suara Abdurrahman, driver Gojek saya penuh tekad, tegas dan menunjukkan Ia memang berusaha keras secepat mungkin datang ke kantor saya. Orang bertekad kuat tak mungkin khianat, akhirnya saya pun menunggu.
Ketika akhirnya tiba, Abdurrahman sudah berdiri menunggu menyambut saya, mengulurkan helm dengan tersenyum. Meminta maaf karena ternyata lebih dari 15 menit dan berterima kasih karena saya bersedia menunggu.
Awalnya saya kira Abdurrahman orang yang sudah makan asam garam kehidupan, rupanya Ia baru 21 tahun, baru semester 5. Sikap yang mengagumkan untuk anak muda seperti Abdurrahman.
Abdurrahhman akhirnya membawa saya membelah Jalan Gatot Subroto menuju Stasiun Palmerah. Ia bercerita setiap hari sepulang kuliah di sebuah kampus swasta di Jakarta Timur, Ia menjadi Driver Gojek dan baru pulang jam 12 – 1 malam.
Hasil Gojek, Abdurrahman gunakan untuk membayar kuliah. Kiranya Abdurrahman adalah anak muda yang berjuang.
Adik Abdurrahman sama pejuangnya dengan Abdurrahman, seorang mahasiswa di UNJ Rawamangun, Universitas Negeri Jakarta namun saat tidak kuliah, Ia menjadi Tukang Sampah.
Saya tanya “Tukang Sampah Mas?”
Abdurrahman mantap menjawab, “Iya Mas! Pasukan Oranye yang suka nyapu-nyapu di jalan itu. Dan sekarang digaji UMR tuh. Cukup buat hidup dan bayar kuliah”
Maka saya tidak bisa tidak untuk salut dengan perjuangan Abdurrahman dan adiknya. Di Jakarta yang keras mereka berdua menempa diri.
Saya tak tahu masa depan mereka akan menjadi apa, tapi saya yakin Tuhan senang dengan orang-orang yang berjuang, orang-orang yang bekerja keras.
Sesampai di Stasiun Palmerah, Abdurrahman menurunkan saya dengan senyum yang sangat lebar, saya balas tersenyum dan senyum saya ternyata tidak habis sampai saya turun dari kereta di Stasiun Jurangmangu.
Semoga saya selalu bisa bertemu dengan pejuang-pejuang seperti Abdurrahman. Dengan demikian saya bisa menunduk ketika Jakarta memaksa orang untuk mendongak.
Tabik.
(Disclaimer: Rubrik “Jakarta Kita” adalah kumpulan artikel non formal yang lebih bersifat opini atau fiksi bukan bagian dari berita resmi jakartakita.com)