Rencana hengkang beberapa perusahaan multinasional dalam bidang elektronik menjadi perbincangan hangat beberapa hari terakhir.
Namun demikian, hengkangnya beberapa perusahaan multinasional tersebut, hendaknya jangan terlalu dipersoalkan.
Pasalnya, jenis-jenis perusahaan tersebut sangat terbatas dalam penggunaan bahan baku lokal. Mereka cenderung memanfaatkan Indonesia sebagai pasar produk mereka.
Dengan demikian, nilai tambahnya bagi Indonesia tidak besar dan jenis usaha tersebut bukan menjadi kompetensi inti Indonesia dalam persaingan di Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Terlepas dari alasan yang mereka kemukakan, intinya ada dua alasan mendasar yang mendorong mereka untuk hengkang.
Pertama, menurunnya produktivitas serta meningkatnya demo buruh di Indonesia membuat biaya tenaga kerja per unit output meningkat. Sementara bahan baku yang dapat dijadikan sarana menahan mereka untuk tidak hengkang, sangat terbatas di Indonesia. Untuk mempertahankan daya saing produk mereka, maka relokasi pabrik menjadi pilihan.
Kedua, pasar bebas ASEAN dalam MEA juga dapat memberikan kontribusi terhadap rencana hengkangnya perusahaan-perusahaan tersebut. MEA telah memangkas bea masuk antar negara ASEAN sepanjang suatu produk memenuhi persyaratan minimum kandungan lokal ASEAN yang sebesar 40%. Ini telah mengubah pertimbangan mengenai penetapan lokasi unit usaha terutama pabrik dari perusahaan multinasional.
Dalam memutuskan lokasi pabriknya, ke depan perusahaan multinasional akan memfokuskan pertimbangannya pada posisi strategis serta keunggulan kompetitif, baik sumber daya ataupun pasar dari negara di ASEAN, yang menjadi titik masuk (entry point).
Di negara yang dianggap paling menguntungkan, perusahaan multinasional akan memproduksi produknya kemudian mendistribusikan ke negara-negara ASEAN lainnya secara kompetitif tanpa dihalangi bea masuk.
Berdasarkan alasan implisit di atas, maka rencana hengkang perusahaan tidak perlu ditanggapi berlebihan oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan dan insentif yang justru bisa merugikan Indonesia dalam jangka panjang. Tindakan yang perlu dilakukan pemerintah adalah meredisain kebijakan industri Indonesia dalam menghadapi persaingan dalam MEA.
Jadi, kebijakan industri di Indonesia ke depan harus benar-benar berdasarkan analisis Strength, Weakness, Opportunity, and Treat (SWOT) yang dimiliki Indonesia. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat dan insentif yang ditawarkan tidak sekedar mengimitasi mentah-mentah (copy paste) negara lain.
Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam terkaya di ASEAN, Indonesia tentu saja memiliki banyak kondisi SWOT yang berbeda dengan negara-negara lain di kawasan tersebut. Ini tentu saja membutuhkan kebijakan industri maupun insentif yang berbeda pula.
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia, pemerintah perlu fokus pada hilirisasi industri yang berbasis pada sumber daya alam Indonesia terutama sumber daya alam yang terbaharukan. Ini akan sulit diimitasi oleh negara ASEAN yang lain dan menjadi kompetensi inti industri manufaktur Indonesia.
Sebagai pendukung redisain kebijakan industri tersebut, kualitas dan mentalitas tenaga kerja Indonesia perlu dibenahi agar produktivitasnya dapat meningkat yang pada gilirannya membuat biaya buruh per unit output lebih kompetitif. Dari segi aspek infrastruktur, penyediaan listrik di luar Jawa perlu dipercepat agar pusat-pusat industri di wilayah tersebut dapat dikembangkan. Ini dapat memperkuat daya saing produk Indonesia sebab sebagian besar sumber daya alam Indonesia berada di luar Jawa.
Hal penting lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah mengubah regulasi ketenagakerjaan dan investasi untuk merespons perubahan persaingan dalam MEA. Regulasi yang akan dibuat perlu memperlihatkan keberpihakan terhadap tenaga kerja dan investor domestik.
Khusus regulasi ketenagakerjaan, perlu ada kejelasan indikator penilaian mengenai “keterampilan” tenaga kerja. Jika ini tidak jelas, maka tenaga kerja tidak terampil dari negara lain di ASEAN dapat bebas bekerja di Indonesia. Ini akan membuat Indonesia menjadi korban dari pemberlakuan MEA.***
Penulis : Agus Tony Poputra, Ekonom Universitas Sam Ratulangi Manado