Jakartakita.com – Permohonan Asosiasi Industri Baja Indonesia (IISIA-Indonesia Iron & Steel Industry Association) untuk memperoleh insentif berupa penundaan pembayaran listrik, ditolak PLN.
Melalui surat resmi yang ditujukan kepada jajaran pengurus IISIA, BUMN kelistrikan tersebut menyatakan tidak bisa meluluskan permintaan pelaku industri baja nasional lantaran insentif tersebut hanya diperuntukkan bagi industri padat karya dan berdaya saing lemah terhadap produk impor.
“Surat penolakan ini kami terima awal Februari lalu, dan telah kami sampaikan kepada seluruh anggota IISIA,” ujar Direktur Eksekutif IISIA Hidajat Triseputro kepada Jakartakita.com.
Hidajat mengatakan bisa memahami penolakan PLN, namun ia berharap, harga listrik bagi pelaku industri baja dapat ditekan.
“Sebab komponen biaya listrik tergolong sangat besar dalam biaya produksi. Bahkan jika ditotal, biaya energi dan bahan baku berkontribusi 80% bagi biaya produksi,” lanjutnya.
Dia mengungkapkan, harga listrik di Indonesia paling mahal se-Asia Tenggara serta harga gas alam untuk industri di Indonesia berkisar US$ 7-9,3 per mmbtu. Bandingkan dengan harga gas di Malaysia sebesar US$ 4 per mmbtu dan harga internasional hanya US$ 2,8 US$ per mmbtu. Hal ini sudah berlangsung selama hampir tiga tahun.
Belum lagi, sejak tahun 2014, harga listrik untuk industri terus merangkak naik sehingga menyulitkan pelaku industri mengembangkan kapasitas. “Terbentur harga listrik yang mahal,” katanya.
Terkait penolakan permohanan penundaan pembayaran listrik, PLN menyarankan pelaku industri baja nasional memanfaatkan insentif kebijakan ekonomi jilid 3, yaitu diskon tarif 30% bagi tambahan pemakaian daya antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 08.00.