Jakartakita.com – Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, menyebutkan ada alasan mengapa para oknum di Indonesia tidak takut melakukan korupsi. Pasalnya, hukuman untuk para koruptor sangat minim, dengan rata-rata per oknum hanya sekitar dua tahun penjara.
“Sejak tahun 2005, ICW melakukan pemantauan terhadap kasus korupsi yang diadili Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Umum. Khusus kasus korupsi 2015, dalam catatan ICW, rata-rata hukumannya 2 tahun 2 bulan. Dengan kondisi yang demikian kita agak sulit menyatakan bahwa koruptor akan jera,” ujar Emerson dalam diskusi di acara hari ulang tahun Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (18/2/2016).
Selain vonis yang masih ringan, lengkapnya fasilitas di lembaga pemasyarakatan membuat para napi koruptor ‘betah’. Seperti di Lapas Sukamiskin, yang dinilai tidak seperti penjara melainkan kos-kosan.
Emerson juga menyoroti proses hukum yang belum menyentuh keluarga, kerabat, dan lingkungan korporasi bisnis yang diduga juga menikmati hasil tindakan sang koruptor. Seharusnya, hukuman di pengadilan juga masih cenderung hukuman formalitas saja, bahkan jauh dari upaya ‘memiskinkan’ pelaku korupsi.
“Koruptor yang dihukum seumur hidup hanya sedikit. Terakhir Akil Mochtar. Belum ada yang dihukum mati,” tutur Emerson.
Selain itu, hukuman uang pengganti juga tidak menimbulkan efek jera karena banyak narapidana memilih menjalani hukuman penjara tambahan dibanding harus membayar uang pengganti.Pidana tambahan put disebutkan oleh Emerson seperti pencabutan hak politik dianggap Emerson belum maksimal.
Sebab, sejumlah mantan narapidana atau para koruptor masih dapat mengikuti Pilkada/Pemilu.”Negara ini enak betul, terpidana kasus korupsi bisa ikut Pileg dan Pilkada. Ini dampak tidak dicabut hak politik,” kata Emerson.
Emerson juga menyinggung proses hukuman untuk koruptor yang masih saja membiarkan tersangka tidak dimasukkan dalam jeruji sel. Selain itu, tersangka yang berada di tahanan masih dengan leluasanya mengatur bisnisnya dari balik penjara. (Agivonia Vidyandini)