Jakartakita.com – Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar menilai, tidak ada perbaikan dalam kebebasan berekspresi di Indonesia sepanjang tahun 2015.
Sebabnya, tercatat ada 45 kasus kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah di internet sepanjang tahun 2015 lalu.
Untuk itu, pihaknya menyerukan revisi tata kelola internet untuk menjaga kebebasan berekspresi.
Salah satunya pasal 28 ayat 2, yang melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Dalam praktiknya, pasal 28 ayat 2 sering dijadikan alat balas dendam untuk membungkam ekspresi,” ujar Wahyudi, di Jakarta, baru-baru ini.
Ia juga berpendapat, semua ketentuan pidana dalam UU ITE perlu dicabut karena aturan tindak pidana dalam KUHP sudah mencakup tindak pidana yang menggunakan komputer.
Asal tahu saja, sebelumnya Pemerintah juga melakukan pembatasan kebebasan berekspresi dengan memblokir media sosial seperti Tumblr dan Vimeo dengan tudingan memuat konten pornografi, serta Line dan WhatsApp karena mempromosikan konten LGBT.
Menanggapi penilaian ini, juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ismail Cawidu, mengatakan kebebasan berkomunikasi, mencari informasi bahkan menyebarluaskan informasi melalui berbagai media dijamin oleh UUD 1945 pasal 28F.
“Namun kebebasan tersebut tidaklah mutlak karena setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dilakukan menurut UU dengan maksud untuk menjamjn dan menghormati hak dan kebebasan orang lain. Hal ini disebutkan dalam pasal 28j UUD 1945,” kata Ismail.
“Terkait dengan pasal tentang pidana, tidak dapat disebut mencederai kebebasan berekspressi, karena sebelum ada UU ITE, pasal 310 dan 311 KUHP pun sedah mencantumkan hukuman pidana untuk pencemaran nama baik,” tandasnya.