Dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), daerah perbatasan bukan lagi daerah belas kasihan.
MEA telah mengubah posisi strategis daerah perbatasan, khususnya yang berbatasan dengan negara-negara ASEAN lainnya, dari daerah “pinggiran’ menjadi daerah “sentral.”
Posisi strategis tersebut sangat menentukan posisi persaingan bisnis Indonesia dalam MEA dan menentukan apakah Indonesia mendapat manfaat ataupun sekedar menjadi “korban.”
Sejak Indonesia merdeka, kebijakan pembangunan daerah perbatasan lebih didasarkan pada Pendekatan Keamanan, bukannya Pendekatan Kesejahteraan maupun Ekonomi.
Pendekatan ini membuat kondisi ekonomi dan sosial di daerah perbatasan Indonesia jauh tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia dan juga dengan daerah perbatasan negara tetangga. Sesungguhnya pendekatan keamanan tanpa memberi perhatian yang mencukupi untuk peningkatan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan justru mengancam tercapainya tujuan pendekatan keamanan itu sendiri.
Ketimpangan tersebut dirasakan oleh masyarakat di perbatasan dan menyentuh rasa keadilan dan nasionalisme mereka. Kondisi tersebut, tentunya akan mempersulit posisi Indonesia saat ada persoalan perbatasan.
Situasi tersebut sangat krusial terutama saat ini banyak negara di kawasan Asia Pasifik saling klaim terhadap daerah perbatasannya.
Namun, Pemerintah saat ini mulai sadar akan pentingnya pendekatan kesejahteraan. Meskipun, dalam kenyataannya, tindakan di lapangan tampaknya baru pada tataran belas kasihan.
Program pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan Indonesia saat ini belum menyentuh pada penuntasan kendala-kendala perdagangan di daerah perbatasan. Kebanyakan baru mencapai taraf pembangunan infrastruktur dasar untuk mengurangi kekurangan yang ada. Pengembangan ekonomi dan perubahan pola pikir masyarakat pun belum tersentuh secara memadai.
Pembangunan daerah perbatasan seharusnya dilakukan secara komprehensif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang bermakna. Tidak sekedar untuk kepentingan masyarakat di daerah perbatasan, melainkan lebih dari itu yakni menunjang kepentingan ekonomi nasional secara luas. Oleh sebab itu, butuh perubahan paradigma dalam pembangunan daerah perbatasan.
Perubahan paradigma pembangunan tersebut diarahkan pada pembangunan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi Indonesia di kawasan ASEAN, serentak dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
Bilamana daerah yang berbatasan dengan ASEAN tidak mendapat pembangunan dan pengawasan yang memadai, maka dikhawatirkan daerah-daerah tersebut sekedar menjadi pintu masuk barang, jasa, dan manusia dari negara ASEAN lainnya, tanpa Indonesia mampu melakukan ekspor yang bermakna.
Dalam konteks tersebut, Pemerintah harus mampu membuat daerah perbatasan menjadi menarik bagi masyarakat dan dunia usaha Indonesia sendiri. Daerah perbatasan perlu dijadikan front pertempuran ekonomi antara Indonesia dengan negara tetangga. Dalam hal ini pemerintah harus mampu mengurangi biaya perdagangan antara wilayah lain di Indonesia dengan daerah perbatasan agar menarik investasi maupun kegiatan perdagangan antar negara secara signifikan.
Dalam kebijakan industri, perlu upaya untuk menjadikan beberapa daerah perbatasan menjadi Kawasan Industri Terpadu. Untuk maksud tersebut pembangunan daerah perbatasan Indonesia membutuhkan Dana Khusus (Special Funding). Keberadaan dana khusus ditujukan untuk meningkatkan kualitas infrastruktur secara dramatis di daerah perbatasan.
Adapun infrastruktur yang dibangun di daerah perbatasan terutama energi listrik serta sarana dan prasarana perhubungan, tidak sekedar mencukupi kebutuhan rumah tangga namun untuk kepentingan ekonomi yang lebih luas dan berjangka panjang.
Dalam menarik investor asing untuk berinvestasi di daerah perbatasan, sebaiknya Pemerintah lebih selektif dengan tidak mengizinkan investor dari negara yang berbatasan langsung dengan daerah perbatasan Indonesia. Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa di samping keberadaan investor asing dari negara tetangga dapat menimbulkan persoalan perbatasan di kemudian hari terutama adanya izin pemilikan lahan oleh asing. Selain itu, keberadaan mereka bisa sekedar mengeksploitasi sumber daya alam tanpa melakukan pembangunan yang signifikan di daerah perbatasan.
Bercermin dari kasus Batam yang investornya kebanyakan berasal dari Singapura, daerah tersebut tidak mampu berkembang sebagaimana diharapkan apalagi menyaingi Singapura. Secara nalar, merupakan hal yang bodoh bagi suatu negara bila membangun daerah dari negara lain yang nantinya bersaing secara langsung dengan negaranya.
Pada intinya, perubahan konstelasi persaingan bisnis di kawasan ASEAN dengan berlakunya MEA, membutuhkan kecerdikan Pemerintah dalam mengambil kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi ke depan seharusnya berlandaskan pada geo-position dan geo-strategy agar menguntungkan Indonesia dalam MEA.***
Penulis : Agus Tony Poputra, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam Ratulangi Manado