Jakartakita.com – Film dokumenter “Toraja Melo” yang berdurasi 60 menit sangat menyedot banyak pasang mata yang menonton pada Rabu (2/3/2016) malam di Auditorium Erasmus Huis, Jakarta. Toraja Melo sendiri memiliki arti ‘Toraja Bagus’.
Film “Toraja Melo” adalah sebuah film yang menceritakan tentang ‘perjalanan’ perempuan-perempuan tangguh suku Toraja untuk melestarikan warisan kain tenun Toraja. Film yang diproduksi oleh Biru Terong Initiative ini dalam pembuatannya memerlukan riset yang tidak sebentar.
Untuk mengulik tentang arti pada setiap motif kain tenun Toraja ternyata tidak mudah, karena tidak banyak warga Toraja yang memahaminya. Perlu waktu dua tahun, dan bahkan harus langsung bertemu Tomina Toburake, warga Jepang yang memiliki pemahaman mendalam tentang kain tenun Toraja. Toburake juga berperan dalam diterbitkannya dua buku tentang Toraja dan kain tenunnya.
Tak hanya pemutaran film, acara yang berlangsung di Erasmus Huis juga menghadirkan CEO dan Founder Toraja Melo, Dinny Jusuf. Semangat Dinny untuk berupaya merevitalisasi kain tenun Toraja timbul setelah ia melihat sendiri kondisi perempuan Toraja yang mengenyam pendidikan, tapi miskin dan menjadi tumpuan hidup keluarga.
Kondisi inilah yang menggugahnya. Ia dibantu Nina, adiknya yang saat itu tinggal di San Fransisco, Amerika Serikat, yang lalu memilih pulang dan membantu penuh dalam ‘menghidupkan’ kain Toraja. Kebetulan Nina pernah mendalami desain di Negeri Paman Sam. Dinny dan Nina ingin supaya warga Toraja bangga akan hasil kain mereka dan terlibat dalam pembuatannya.
Dinny, yang merupakan mantan aktivis perempuan, menaruh minat yang amat sangat baik terhadap kekayaan budaya Tana Toraja. Kain tenun Toraja tumbuh saat ia menyadari bahwa pada tahun 2008, hanya ada dua perempuan yang sudah lanjut usia yang masih menjadi penenun kain di Sa’dan. Banyak pula kain tenun yang tidak terpakai. Padahal, Toraja dikenal sebagai tempat kedua tujuan wisata favorit setelah Bali.
Hasil kerja keras Dinny dan Nina saat ini telah terlihat hasilnya. Jika sebelumnya motif kain Toraja yang dikenal masih sangat sederhana dan terbatas, seperti motif Pamiring dan Pa’borong. Namun, berkat kolaborasi dengan seniman Toraja, saat ini sudah cukup banyak motif yang dihasilkan.
Tantangan untuk membuat kain tenun ini adalah membuatnya sejajar dengan kain tenun dari daerah lain, misalnya ketersediaan bahan katun (benang impor) dan terbatasnya bahan pewarna alami. Selama proses, para pembuat kain memiliki waktu menenunnya sendiri yang disesuaikan oleh kebiasaan hidup warga. (Indah Purwati)