Saat ini banyak komponen bangsa Indonesia mengalami degradasi mental yang sangat memperihatikan, Penyebab hal tersebut sangat kompleks dan tidak bisa hanya diselesaikan lewat program Bela Negara. Program ini juga bukan tanpa masalah karena akan membutuhkan anggaran yang besar sementara daya jangkaunya terbatas. Selain itu, program ini salah diartikan maka akan muncul kelompok-kelompok di masyarakat yang merasa lebih hebat dari yang lain karena telah mendapatkan pelatihan bela negara.
Mengingat kompleksnya penyebab degradasi mental bangsa, maka dibutuhkan Cetak Biru Revolusi Mental yang berisikan kebijakan dan tindakan yang berbiaya murah namun berdaya jangkau luas.
Hingga saat ini, pemerintah belum memiliki Cetak Biru Revolusi Mental sebagaimana janji kampanye Jokowi-JK. Degradasi mental bangsa yang coba diperbaiki lewat fokus pada program Bela Negara merupakan suatu penyederhanaan berlebihan. Selain berbiaya besar dan cakupan yang terbatas, Program Bela Negara dapat menghasilkan kelompok-kelompok masyarakat yang merasa diri lebih dari kelompok lain apabila konten dan cara pelatihan program tersebut kurang tepat.
Sesungguhnya degradasi mental di Indonesia sangat kompleks, tidak sekedar hilangnya nasionalisme. Ini menghinggapi seluruh lapisan masyarakat. Oleh sebab itu, penyelesaiannya harus komprehensif dengan memahami akar masalahnya.
Sebagai bangsa paternalistik, Indonesia membutuhkan figur-figur panutan. Krisis figur panutan yang baik saat ini menjadi penyebab utama degradasi mental bangsa ini. Para pemimpin negara, elit politik, dan aparatur negara yang diharapkan menjadi teladan, justru semakin banyak yang berperilaku antagonis.
Di samping kehilangan figur panutan yang baik, beberapa faktor lain mendukung terjadi degradasi mental tersebut. Pertama, kondisi pendidikan yang semakin buruk. Banyak pendidik kurang memiliki jiwa mendidik sehingga profesi tenaga pendidik lebih kepada sarana mendapatkan penghasilan. Seringkali sikap dan tindakan yang ditampilkan bertolak belakang dengan apa yang mereka ajarkan. Sebagai contoh, peserta didik diajar agar tidak korupsi, namun di saat lain pendidik melakukan pungli.
Kualitas kurikulum juga menjadi pemicu degradasi mental bangsa. Kurikulum yang ada belum memberikan tempat yang semestinya bagi pengembangan nilai-nilai budi pekerti, etiket, dan nasionalisme. Sebagian besar sekolah tidak lagi melaksanakan upacara bendera, kegiatan baris-berbaris serta hari krida setiap minggu sebagaimana yang dilakukan di masa Orde Baru.
Mirisnya, beberapa sekolah internasional justru mengajarkan sejarah bangsa dan lagu nasional negara lain, bukannya sejarah dan lagu nasional Indonesia.
Kedua, pola asuh kebanyakan orang tua yang semakin buruk. Banyak orang tua saat ini lebih mementingkan diri sendiri dan karir ketimbang memberikan perhatian dan pendidikan yang baik bagi anak mereka. Uang dianggap sebagai pengganti perhatian dan didikan bagi anak. Namun saat anak mereka dihukum karena melanggar disiplin sekolah, orang tua bertindak “lebay” dengan mengancam maupun mempolisikan guru.
Pemanjaan seperti ini membuat anak semakin tidak disiplin, tidak punya sopan santun, serta rentan menjadi korban dari kehidupan keras saat mereka masuk ke masyarakat. Situasi ini juga menjadi pemicu munculnya fenomena LGBT yang meluas.
Ketiga, lolos sensornya tontonan dan bacaan yang sangat tidak mendidik dan merusak pikiran anak dan generasi muda.
Banyak media televisi di Indonesia menampilkan: (1) perilaku-perilaku kekerasan tanpa sensor; (2) sinetron yang menampilkan orang baik selalu kelihatan bodoh dan terzolimi; (3) sinetron melibatkan anak di bawah umur yang menampilkan adegan si anak melakukan tindakan yang membahayakan nyawa orang lain hingga tidak heran muncul banyak kejahatan dengan anak sebagai pelakunya; dan (4) acara infotainment yang mengangkat perilaku-perilaku tidak pantas di layar kaca.
Di samping itu, banyak bacaan dan tindakan yang tidak pantas, baik secara konvensional maupun media sosial, terkesan mendapat pembiaran.
Berdasarkan faktor-faktor penyebab tersebut, maka cetak biru Revolusi Mental perlu menyentuh beberapa hal berikut. Pertama, membangkitkan kesadaran para pemimpin bangsa dan elit politik untuk memperbaiki etika berpolitik dan tidak memberikan contoh yang tidak baik pada rakyat. Selanjutnya, perlu adanya tes kejujuran oleh psikolog dalam seleksi masuk PNS.
Kedua, pembinaan mental di lembaga pendidikan harus dimulai dari tenaga pendidik sebab mereka menjadi garda depan dalam pembinaan mental bangsa dan figur panutan peserta didik. Tanpa itu, sulit untuk memperbaiki mentalitas anak dan generasi muda.
Di samping itu, upacara bendera, latihan baris-berbaris, dan kerja bakti setiap minggu perlu dihidupkan kembali untuk membangkitkan jiwa nasionalisme, disiplin, dan gotong-royong.
Dari segi kurikulum, teori dan praktik budi pekerti perlu dikedepankan. Kurikulum sejak Sekolah Dasar perlu memasukan praktik pertanian dan perikanan untuk menanamkan kecintaan terhadap unggulan bangsa tersebut sejak dini.
Ketiga, perlunya program nasional penyadaran bagi orang tua akan pola asuh anak yang benar. Termasuk dalam program tersebut adalah pemberian pemahaman tentang perbedaan antara pendisiplinan dan kekerasan di sekolah.
Keempat, Komisi Penyiaran Indonesia perlu lebih berani dalam menegakkan aturan terhadap tontonan kekerasan dan acara-acara yang merusak moral bangsa. Demikian juga, pihak berwajib perlu lebih aktif dalam mengawasi dan bertindak terhadap bacaan-bacaan yang tidak mendidik.***
Penulis : Agus Tony Poputra, Staf Pengajar FEB Universitas Sam Ratulangi Manado